Serangkai kasih terikat suci
Dalam sekejap indah terlewati
Untuk panggilan jiwa sabili
Derai tangis iringi perpisahan
Sabarkanlah hati istriku sayang
Hidup adalah pengabdian
Kepada Allah Illahirobbi
Ikhlaskan hatimu duhai sayang
Kepergianku tak berharap pulang
Tak kan sirna cintaku padamu
Sebelum maut ajal menjemput
Karena kasihku padamu
Mengharap kasih ridho Illahi
Tak ada kasih yang abadi
Selain kasih sayang Illahi
Pergilah kasih pergilah sayang
Berat hatiku melepasmu sayang
Janganlah risaukan aku seorang
Jangan kembali sebelum menang
Atau syahid di medan perang
Langkah hijrah menuju jihad
Setetes cintaku tertinggal jauh
Lautan iman pelipur rindu
Menggapai cahaya cinta Illahi
Meraih nikmat syurga abadi
Tuk melihat Allah dengan berseri
Dan janji Allah itu pasti
Temanggung, 21 juni 2008
Muhammad Lutfi Khafadho
Dibalik pasangan yang hebat ada cinta
yang kuat. Mungkin itulah kalimat yang pas bagi pasangan Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dan Dewi Siti Kaltsum. Dua sejoli yang mengalami
pasang surut dalam penegakan Darul Islam puluhan tahun silam.
Perkenalan
Kartosoewirjo dengan Dewi Siti Kaltsum terjadi saat pimpinan Darul
Islam tersebut tengah mampir ke Malangbong, Garut, tahun 1928. Kebetulan
Ayahanda Dewi adalah Ardiwisastra, salah seorang Ulama, Ajengan, dan
Tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia
(PSII) ternama di Garut. Niat Kartosoewirjo menyambangi kediaman
Ardiwisastra semata-mata mengumpukan dana bagi keberangkatan KH. Agoes
Salim ke Belanda demi berdiplomasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dewi,
kembang Malangbong yang kala itu tengah mengarungi masa dewasa, melihat
sosok laki-laki yang berbeda mengetuk pintu rumahnya. “Siapa ia?” tanya
Dewi dalam hatinya. Laki-laki itu bagi Dewi tidak seperti laki-laki
pada umumnya. Kartosoewirjo pandai bicara, namun bukan gombal.
Pengetahuannya tentang Islam pun tidak datar. Orang yang mendatangi
ayahnya pasti bukan orang sembarangan.
Kala itu, Kartosoewirjo tengah menjabat Sekretaris Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pada Desember 1927, Kartosoewirjo terpilih sebagai Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Indonesia-sebelumnya
masih bernama Partij Sjarikat Islam Hindia Timoer. Sejak itu, ia banyak
melakukan perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam di seluruh
Nusantara.
Dewi
pun mulai tahu aktivitas Kartosoewirjo yang penuh dengan dunia gerakan.
Maklum saat itu Dewi mulai berkecimpung dalam bidang penuh resiko
tersebut. Darah pergerakan turun dari sang ayah yang terkenal gigih
melawan Belanda dengan semangat perlawanan Islam terhadap Imperialisme
Barat.
Dewi
amat terkesan dengan sikap hidup sang ayah. Pada usia delapan tahun,
ibunya sudah mengajaknya berjalan kaki belasan kilometer ke Tarogong,
Garut, untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Dan itu amat
membekas dalam hatinya.
Ardiwisastra
ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan memelopori
pembangkangan terhadap perintah Belanda, yang mewajibkan penjualan padi
hanya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 1916, Belanda menembak
mati Haji Sanusi, tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut. Terjadi pula
penangkapan secara besar-besaran terhadap para ajengan, termasuk
Ardiwisastra dan santri-santrinya.
Setahun
setelah pertemuan itu, pada April 1929, Kartosoewirjo resmi menikahi
Dewi di Malangbong. Ardiwisastra, sang mertua sendiri, sama sekali tidak
melihat sang menantu dari fisik. Akhlak dan kejujuranlah yang tampaknya
membuat Ardiwisastra menjodohkannya dengan sang putri yang kala itu
menjadi kembang desa di Malangbong.
"Apakah
calon menantunya tampan atau buruk muka tidak penting," kata
Ardiwisastra kepada Pinardi, penulis buku Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo terbitan 1964.
Rupanya
Dewi pun mengakui hal serupa. Secara jujur, ia tidak menjadikan wajah
sebagai prasyarat pinangan sang Imam diterima, “Kalau disebut karena cinta, Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek," tutur Dewi lugu kepada majalah Tempo, tahun 1983.
Rupanya Dewi tidak salah pilih. Ia mengaku mendapatkan selaksa cinta
yang tinggi dari suaminya. Laki-laki soleh yang menyerahkan segala
hidupnya demi Islam. Laki-laki penuh sahaja yang dikenal sebagai biduk
kasihnya sepanjang masa. Dengarlah tuturan Dewi berikut ini:
"Aku
memang tidak salah pilih. Disinilah aku mulai mengenal dan belajar
tentang sikap dan sifat suamiku. Ia ternyata seorang laki-laki yang
penuh tanggung jawab pada keluarganya dan menyayangiku. Ia tak
segan--segan memperkenalkanku, istrinya yang dari kampung dengan
kawan-kawan seperjuangannya yang terpelajar dan terhormat.
"Bahkan dua bulan setelah kami berada di Jakarta, mungkin atas prakarsa teman-temannya, perkawinan kami dirayakan di rumah Pak Cokroaminoto. Aku ingat benar pesta yang sederhana tapi amat mengesankan itu ber-langsung pada tanggal 12 Zulhijjah. “
Pada
perkembangannya, kecintaan dan keikhlasan Dewi terhadap suaminya
betul-betul diuji saat mengarungi perjuangan. Dewi, anak kyai itu,
berkembang menjadi istri diluar pada umumnya. Jika para pribumi yang
menikah dengan Meneer Belanda biasa menikmati pesta pora beserta alunan
nada. Dewi harus ikut bergerilya menghindari kejaran tentara Indonesia.
Jika
para kembang Desa memilih hidup berdiam diri atas kondisi yang ada,
bersama suami, Dewi malah keluar-masuk hutan demi tegaknya Syariat Islam
di bumi Nusantara. Dewi sudah menasbihkan diri untuk bertahan diliputi rasa takut semata-mata pengabdian besar seorang istri terhadap sang suami.
Lantas,
apakah kunci yang membuat Dewi bisa mempertahankan cintanya kepada
Kartosoewirjo meski hidup dan mati adalah dua kata yang dekat kepadanya?
Yang mau hidup penuh kesederhanaan walau sang ayah terkenal sebagai
ningrat di Jawa Barat? Adalah pendidikan agama yang menjadi kunci
kekuatan Dewi untuk tidak mengeluh dan tetap sabar meski hidup penuh
kesederhanaan.
“Akibatnya, kami memang tak punya rumah tetap, pindah dari rumah sewa ke rumah
sewa lainnya. Tapi aku sendiri tidak mengeluh. Sebagai istri yang
mendapat pendidikan agama cukup lekat dari orangtua, kuterima segalanya
dengan rasa syukur. Karena itulah, boleh jadi kehidupan keluarga kami berjalan tenang, kalau tidak dikatakan bahagia.” Aku Dewi.
Bersama
Kartoesowirjo, Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal.
Tiga anak terakhir: Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono, lahir di
tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.
Mereka:
si sulung Tati yang meninggal ketika masih bayi, Tjukup yang tertembak
dan meninggal pada 1951 di hutan pada usia 16 tahun, Dodo Muhammad
Darda, Rochmat (meninggal pada usia 10 tahun karena sakit), Sholeh yang
meninggal ketika bayi, Tahmid, Abdullah (meninggal saat bayi), Tjutju
yang lumpuh, dan Danti.
Sebagai
perempuan, Dewi mulanya takut hidup di hutan. Kala itu Dewi sudah
menggendong Danti yang baru berusia 40 hari. Dewi sempat berpikir
tentang masa depan anak-anaknya. Gurat kesedihan mulai timbul dalam
sekat wajahnya meratapi impian tak sesuai kenyataan. Namun, sosok
Kartosoewirjo lah yang setia berada disampingnya, untuk menghibur,
meyakinkan, dan “menggenggam kuat jemari di tangannya”. Dan Dewi
langsung merasa tenteram.
Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di hadapan istri dan anak-anaknya di sebuah rumah
tahanan militer di Jakarta. Menurut Dewi, saat itu Kartosoewirjo antara
lain berkata tidak akan ada lagi perjuangan seperti ini sampai seribu
tahun mendatang. Dewi menitikkan air mata. Kartosoewirjo, yang mencoba
tabah, akhirnya meleleh. Perlahan-lahan, dia mengusap kedua matanya.
Betapa besar cinta
Kartosoewirjo kepada istrinya. Ia menangis di depan istrinya, bukan ia
kalah terhadap rezim sekuler yang mencoba membunuhnya, bukan jua
menyesal atas perjuangannya yang meski meminta taruhan nyawa, namun air
mata itu adalah bukti cinta Kartosoewirjo yang besar kepada sang istri, ya kembang Malangbong yang senantiasa menemaninya meski hidup penuh onak dan duri.
Air mata Dewi semakin jatuh. Ia menangis sejadi-jadinya. Rasa bangga bercampur haru meliputi hatinya karena memiliki sosok suami seperti Kartosoewirjo yang tetap meyakinkannya tentang arti cinta sebenarnya: Cinta kepada Allahuta’ala, karena dunia hanyalah persinggahan sementara.
Cinta mereka akhirnya harus usai, cinta
Dewi kepada suaminya mesti dipisahkan timah panas ketika aparat
keamanan menangkap Kartosoewirjo setelah melalui perburuan panjang di
wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat dan menghukum matinya pada
September 1962.
Dewi pun menyusul cinta
sejatinya itu pada tahun 1998. Lahir pada 1913, Dewi wafat dalam usia
85 tahun. Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu
Asiyah, ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat.
Namun pepatah "cinta sejati akan dibawa sampai mati" memang betul adanya. Di pemakaman ini Kartosoewirjo masih memendam cinta, cintanya kepada sang istri yang telah menemaninya puluhan tahun baik suka maupun duka. "Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong," kata Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo.
Inilah
kisah cinta sejati yang tertutup di tengah pemberitaan miring tentang
NII pasca dibonceng oleh NII KW IX.. Semoga Allah mempertemukan mereka
kembali di jannah kelak. Allahuma amin. Allahua’lam. (pz)
Referensi
Kekasih Orang Pergerakan, dalam Majalah Tempo, Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam. Edisi 16-22 Agustus 2010.
Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan NII, (Yogyakarta: Uswah, 2009)
Irfan S. Awwas, Riwayat Pendidikan Kartosoewirjo
eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar