BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari pengertian tersebut di
atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah pusat
untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.
Implementasi otonomi daerah telah
memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU otonomi
daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999
sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan diberlakukannya
undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah
daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan
peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut menyebabkan
masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus
memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing
daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam
pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.
Memang harapan dan kenyataan tidak
lah akan selalu sejalan. Tujuan atau harapan tentu akan berakhir baik bila
pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan juga berjalan baik. Namun
ketidaktercapaian harapan itu nampak nya mulai terlihat dalam otonomi daerah
yang ada di Indonesia.Masih banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya
otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu
harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat
tercapai.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penyusunan ini penulisan
memberikan batasan-batasan masalah, meliputi :
- Eksploitasi Pendapatan Daerah
- Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi
daerah yang belum mantap - Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
- Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
- Korupsi di Daerah
- Potensi munculnya konflik antar daerah
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan dalam
pelaksanaan otonomi daerah di indonesia. Meneliti penyelesaian dari
permasalahan yang ada. Menyelesaikan tugas mata kuliah Kewarganegaraan tentang
Permasalahan Dalam Otonomi Daerah
1.4 Manfaat Penulisan
1. Sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa.
2. Sebagai wacana awal bagi
penyusunan karya tulis selanjutnya.
3. Sebagai literature untuk lebih
memahami otonomi daerah di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi
urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya
dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.dengan adanya desentralisasi
maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah
istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai
penyerahan kewenangan.Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi juga dapat diartikan
sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana,
manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang
melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan
untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan
pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan
meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh
pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi.
Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial
ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah
secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
2.2 Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di
Indonesia
Sejak diberlakukannya paket UU
mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering membicarakan aspek
positifnya.Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan
positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri
sendiri.Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang
sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak
begitu penting atau pinggiran.Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke
pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih
mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan
yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang
optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Akan tetapi apakah di tengah-tengah
optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan
beberapa persoalan yang jika tidak segera dicari pemecahannya, akan menyulitkan
upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak, tentu akan
sangat naif. Mengapa?Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak
menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa
permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak
sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia.
Masalah-masalah tersebut antara lain
:
- Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
- Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap
- Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
- Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnyapelaksanaan otonomi daerah
- Korupsi di Daerah
- Adanya potensi munculnya konflik antar daerah
2.2.1 Adanya Eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi
adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai
dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan
daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent
risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan
optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan
bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu
rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai
daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan
anggota legislatif daerah.Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap
menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan
biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak
daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan
daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah
daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif
yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable
dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi
sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat
wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan
retribusi di daerah itu salah?Tentu tidak.Akan tetapi yang jadi persoalan
sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut
pajak dan retribusi dari rakyatnya.Pemerintah daerah telah kebablasan dalam
meminta sumbangan dari rakyat.Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak
dan retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya
akan mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang
sinisme di kalangan warga DKI Jakarta, bahwa setiap aktivitas yang mereka
lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai buang hajat pun
harus membayar retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi contoh unik
ketika menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk. Logika
yang dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan.
Hal ini terlihat lucu. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan
mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi
sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda
tersebut diberlakukan (sepertinya kurang meyakinkan apakah perda tersebut jadi
diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan
pemungutan retribusi.
Dengan dua contoh tersebut, penulis
ingin mengatakan bahwa upaya pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah
di era otonomi ini telah melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak
sebagai warga negara kita harus ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan
publik dengan menyumbangkan sebagian kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui
pajak dan retribusi. Akan tetapi, apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam
memungut pendapatan dari rakyatnya hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan,
sejauh mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?
Bila dikaji secara matang,
instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif semacam itu
justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari pada
manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya
beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau
retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi
jika dihitung secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan
tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang
tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya
kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di
daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya
pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan
merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau pemerintah daerah ingin
menarik minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada saat yang sama justru
mengurangi minat investor untuk berinvestasi?
2.2.2 Pemahaman Terhadap Konsep Desentralisasi Dan Otonomi Daerah
Yang Belum Mantap
Desentralisasi adalah sebuah
mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara
pemerintah nasional dan pemerintah lokal.Tujuan otonomi daearah membebaskan
pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan
domestik, sehingga pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami dan
merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari
padanya.Pemerintah hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional
yang bersifat strategis.
Desentralisasi diperlukan dalam
rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan.Sebagai wahana pendidikan politik di daerah.Untuk memelihara
keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional.Untuk mewujudkan demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah.Untuk memberikan
peluang kepada masyarakat utntuk membentuk karir dalam bidang politik dan
pemerintahan.Sebagai sarana bagi percepatan pembangunan di daerah.Untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.Oleh karena itu pemahaman terhadap
konsep desentralisasi dan otonomi haruslah mantap.
Undang-undang di atas mencakup semua
aspek utama dalam desentralisasi fiskal dan administrasi.Berdasarkan kedua
undang-undang ini, sejumlah besar fungsi-fungsi pemerintahan dialihkan dari
pusat ke daerah sejak awal 2001 – dalam banyak hal melewati
provinsi.Berdasarkan undang-undang ini, semua fungsi pelayanan publik kecuali
pertahanan, urusan luar negeri, kebijakan moneter dan fiskal, urusan
perdagangan dan hukum, telah dialihkan ke daerah otonom.Kota dan kabupaten
memikul tanggung jawab di hampir semua bidang pelayanan publik seperti
kesehatan, pendidikan, dan prasarana; dengan provinsi bertindak sebagai
koordinator.Jika ada tugas-tugas lain yang tidak disebut dalam undang-undang,
hal itu berada dalam tanggung jawab pemerintah daerah.
Pergeseran konstitusional ini
diiringi oleh pengalihan ribuan kantor wilayah (perangkat pusat) dengan sekitar
dua juta karyawan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung mulai
tahun 2005. Lebih penting lagi, Dana
Alokasi Umum atau DAU yang berupa block grant menjadi mekanisme utama dalam
transfer fiskal ke pemerintah daerah, menandai berakhirnya pengendalian pusat
terhadap anggaran dan pengambilan keputusan keuangan daerah.DAU ditentukan
berdasarkan suatu formula yang ditujukan untuk memeratakan kapasitas fiskal
pemerintah daerah guna memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Pemerintah Pusat juga
akan berbagi penerimaan dari sumber daya alam — gas dari daratan, minyak dari
daratan, kehutanan dan perikanan, dan sumber-sumber lain dengan pemerintah
daerah otonom.
Kedua undang-undang baru ini serta
perubahan-perubahan yang menyertainya mencerminkan realitas politik bahwa warga
negara Indonesia kebanyakan menghendaki peran yang lebih besar dalam mengelola
urusan sendiri.Meskipun demikian, tata pemerintahan lokal yang baik pada saat
ini belum dapat dilaksanakan di Indonesia, meskipun sistem desentralisasi telah
dilaksanakan.Periode yang tengah dialami oleh Indonesia pasca dikeluarkannya UU
No. 22/ 1999 yaitu periode transisi atau masa peralihan sistem.Artinya, secara
formal sistem telah berubah dari sentralistik menjadi desentralisasi.Tetapi,
mentalitas dari aparat pemerintah baik pusat maupun daerah masih belum
mengalami perubahan yang mendasar.Hal ini terjadi karena perubahan sistem tidak
dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem
pemerintahan yang baru.Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang
sepenuhnya mendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat “sebagai
pengguna jasa” adalah pelayanan publik yang ideal.Untuk merealisasikan bentuk
pelayanan publik yang sesuai dengan asas desentralisasi diperlukan perubahan
paradigma secara radikal dari aparat birokrasi sebagai unsur utama dalam
pencapaian tata pemerintahan lokal.
2.2.3 Penyediaan Aturan Pelaksanaan
Otonomi Daerah Yang Belum Memadai
Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir
UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang
mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang
sentralistik.
Kedua undang-undang ini mengatur
wewenang otonomi yang diberikan luas kepada pemerintah tingkat kabupaten dan
kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat pemerintah
yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu
merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada
gubernur.
Setiap bupati dan walikota memiliki
kewenangan penuh untuk mengelola daerah kekuasaannya.Keleluasaan atas kekuasaan
yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks
and balances) yang memadai antara eksekutif dan legislatif.
Parlemen di daerah tumbuh menjadi
sebuah kekuatan politik riil yang baru.Lembaga legislatif ini secara merdeka
dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi
kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat
ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah dan
dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga
mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku
setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang
lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya
yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih
tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga
memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal
yang dinamis dan demokratis di setiap daerah.Namun, praktik-praktik politik
yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi
yang demokratis.Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa
terjadi.
Pertama, pemerintah pusat rupanya
tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di
daerah.Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran pemerintah pusat
terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai
dengan UU otonomi yang baru.Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan
kerangka otonomi daerah yang baru.Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung
otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi daerah
itu mandul dan tak efektif.Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya telah
melahirkan kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah
menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian elit di
daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat.Istilah “putra
daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud
melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah
diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan.Hal ini tentu saja
bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi
daerah. Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di
berbagai daerah.
Hubungan pusat dan daerah juga masih
menyimpan ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena
berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur
(atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum. Berbagai gelombang tuntutan
disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan
Kalimantan. Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan
Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa
Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang
timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang
menghasilkan UU Pemerintahan Aceh. Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh
dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.
Menjadi harapan, karena Amandemen
kedua konstitusi, telah mengubah wajah Pemerintahan Daerah menjadi lebih
demokratis dan lebih bertanggung jawab.Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (redaksi
baru), Perubahan Kedua, berbunyi, “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemreintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat“.Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat
dibaca secara terpisah dengan Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi
baru).
Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki
mengatakan, bentuk negara (de staatsvorm) RI secara utuh harus dibaca
dan dipahami dalam makna: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas
dasar otonomi yang seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (redaksi
baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).
Lima tahun berlangsung, UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999 dipandang perlu direvisi, hingga lahirlah UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan
Keuangan menggantikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tersebut.
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah merumuskan desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat,
dalam hal ini Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI,
menurut UUD 1945 (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2004). Penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara
delegasi, lazim disebut delegation of authority.
Tatkala terjadi penyerahan wewenang
secara delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih
kepada penerima delegasi. Dalam hal pelimpahan wewenang secara
mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud.
Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator.
Dengan demikian, dalam hal
penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom
secara delegasi, untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan memberikan
konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud.Semua
beralih kepada daerah otonom, artinya menjadi tanggungjawab pemerintahan
daerah, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai
urusan pemerintah pusat. Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menetapkan, bahwasanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat
meliputi a. politik luar negeri, b. pertahanan, c. keamanan, d. yustisi, e.
moneter dan fiskal, f. agama.
Pusat tidak boleh mengurangi,
apalagi menegasikan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah
otonom.Namun demikian, daerah otonom-daerah otonom tidak boleh melepaskan diri
dari Negara Kesatuan RI.Betapa pun luasnya cakupan otonomi, desentralisasi yang
mengemban pemerintahan daerah tidaklah boleh meretak-retakkan bingkai Negara
Kesatuan RI.
Secara formal normatif, arah
desentralisasi sudah cukup baik.Namun, dalam tataran empiris komitmen
pemerintah pusat tidak konsisten.Praktek-praktek monopoli dan penguasaan
urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam termasuk
perizinan di daerah, dikuasai pusat.
Intervensi pusat pada daerah begitu
besar.Penyerahan urusan/wewenangan yang semestinya dilakukan dengan penyerahaan
sumber keuangan tidak dilakukan.Pusat melakukan penganggaran pembangunan daerah
tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah lebih dominan berasal dari
APBN, yang semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan untuk APBD.
UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat
mengalami perubahan berdasarkan UU No. 8 tahun 2005 dan UU No. 12 tahun 2008. Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP
No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan.Walau telah dibagi-bagi kewenangan
pusat dan daerah, namun PP ini dipandang telah menegasikan kewenangan
daerah.Revisi lebih komprehensif kemudian diwacanakan kembali pada UU No.
32/2004 untuk lebih menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan daerah.
2.2.4 Kondisi SDM Aparatur Pemerintahan Yang Belum Menunjang
Sepenuhnya Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sejak diberlakukannya otonomi
daerah.Sebagian pemerintah daerah bisa melaksanakan amanat konstitusi
meningkatkan taraf hidup rakyat, menyejahterakan rakyat, dan mencerdaskan
rakyat.Berdasarkan data yang ada 20 % pemerintah daerah mampu menyelenggarakan
otonomi daerah dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah.Namun masih 80 %
pemerintah daerah dinilai belum berhasil menjalankan visi, misi dan program
desentralisasi.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang
sehat dapat di wujudkan pertama-tama dan terutama di tentukan oleh kapasitas
yang di miliki manusia sebagai pelaksananya. Penyeenggaraan otonomi daerah
hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabil manusia pelaksananya
baik,dalam arti mentalitas maupun kapasitasnya.
Pentingnya posisi manusia pelakana
ini karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang
bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi pemerintahan.Oleh
sebap itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan
sendirinya melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan
otonomi daerah. Anusia pelaksana pemerintah daerah dapat di kelompokkan
menjadi:
- Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).
- Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah
- Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
a. Kepala daerah dan DPRD
Dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia tugas kepala daerah di samping sebagai kepala
daerah juga merupakan alat pemerintah pusat yang menjalani tugas yang sangat
berat. Oleh sebab itu kualifikasi yang di tuntut seorang kepala daerah
seharusnya juga memadai dalam pengertian harus sebanding dengan beban tugas
yang ada di pundaknya.
Dalam
kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup
menjamin tuntutan kualitas yang ada. Di mana yang berkaitan dengan kapasitas
(pengetahuan dan kecakapan) hanya tiga syarat yang di penuhi masing-masing; cerdas, berkemampuan, dan keterampilan; mempunyai kecakapan dan pengelaman
kerja yang cukup di bidang pemerintahan; berpengetahuan yang sederajat degan
perguruan tinggi atau sekurang kurangnya di persamakan dengan sarjana muda.
Demikian
pula halnya dengan mentalitas tidak terdapat ukuran-ukuran yang dapat di
pergunakan sebagai tolok ukur objektif, sehinggga terdapat cukup banyak
kesulitan dalam penilaian padahal peranan mental ini sangat penting dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.
Kepala
daerah yang didominasi oleh pertimbangan akseptabilitas (walaupun kadang kala
tidak objektif) dari pada kualitas dan kapabilitas seseorang calon KDH. Kepala daerah yang banyak
mengorbankan uang, lebih berorientasi kepada proyek pribadi, yaitu untuk
memperoleh keuntungan secara finansial dan material. Kepala daerah cenderung membentuk
kelompok-kelompok ditengah-tengah birokrasi, sehingga terdapat perlakuan yang
diskriminatif dikalangan birokrasi. Kepala daerah ada yang tidak
konsisten terhadap visi dan misi daerah (walaupun disampaikan pada saat menjadi
calon), karena menganggap visi dan misi yang disampaikan hanya untuk
kepentingan sesaat. Kepala daerah yang lebih berorientasi untuk mempertahankan
kekuasaan walaupun dengan cara dan kebijaksanaan yang tidak memenuhi
kaidah moral dan etika bahkan menyimpang dari peraturan dan perundangan.
Hal yang
dikemukakan diatas merupakan kondisi dan gejala umum, walaupun ada
yang berbuat, berprilaku dan membuat kebijakan sesuai dengan ketentuan serta
tujuan dari otonomi daerah tersebut, namun jumlahnya tidak seberapa. Untuk itu
perlu adanya perubahan sistemik dengan cara sbb:
Untuk
menjadi calon kepala daerah perlu diperhatikan kapabilitasnya, tidak hanya
akseptabilitasnya saja, oleh karena seorang kepala daerah tidak hanya pemimpin
politik, tetapi juga pimpinan pemerintah yang didalamnya terdapat ilmu, seni,
dan teknis pemerintahan.
Dalam era
globalisasi, penyelenggaraan pemerintahan (pelaksanaan otonomi daerah) itu
tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu seorang calon kepala
daerah harus memiliki basis ilmu yang sesuai dengan tingkat kecerdasan
masyarakat dan lingkungan. Untuk Wakil kepala daerah sebaiknya
tidak harus dari orang-orang partai politik, tetapi lebih diutamakan yang
berpengalaman di birokrasi pemerintahan, sehingga wakil kepala daerah lebih
terfokus membantu kepala daerah dalam hal-hal teknis pemerintahan.
Perlu
standar yang jelas tentang biaya untuk keikut sertaan dalam pemilihan kepala
daerah, sungguhpun sulit diimplementasikan tetapi sudah ada suatu ukuran atau
pedoman.
Kepala
daerah dihindarkan dari intervensi terhadap hal-hal yang bersifat sangat teknis
seperti administrasi keuangan, administrasi kepegawaian maupun administrasi
proyek-proyek pembangunan. Yang dilakukan kepala daerah adalah
menyusun dan menetapkan kebijakan umum, mengawasi pelaksanaan kebijakan
tersebut serta memberikan motivasi dan pembinaan. Dalam menjalankan kepemimpinannya,
kepala daerah harus memiliki kekuasaan[1].
Seperti
halnya kepala daerah, DPRD pun memiliki beban tugas yang tidak
ringan, karena tugas pokoknya adalah bersama-sama kepala daerah
menetapkan kebijakan daerah baik yang berupa peraturan-peraturan daerah dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Di samping itu DPRD ujga
menjalankan fungsi pengawasan atas pelakanaan kebijakan daerah oleh kepala
daerah. Dengan tugas dan fungsi semacam ini DPRD di tuntut untuk memiliki
kualitas yang memadai. Dalam kenyataannya pendidikan dan pengelaman yang di miliki
oleh DPRD masih di bawah rata-rata dan masih sangat terbatas. Rata-rata DPRD tidak di bekali dengan
pendidikan dan pengelaman yang cukup di bidang pemerintahan. Hal ini akan
sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan otonomi daerah
Rakyat
merasa sayang bila APBD dan APBN selalu defisit, namun kesejahteraan rakyat
tidak terasakan oleh rakyat di daerah. Maka bisa ditebak bahwa pasti ada
penyimpangan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang sedang berjalan. Sebagai bukti visi, misi dan program
otonomi daerah tersebut tidak optimal. Berdasarkan data Kementrian Dalam
negeri yang menunjukkan bahwa 158 kasus korupsi kepala daerah.Sungguh suatu
ironi pembangunan di negeri khatulistiwa ini.
Otonomi
yang digadang-gadang sebagai solusi kesejahteraan rakyat di daerah sebaliknya
menjadi buah simalakama yang menelan korban kader-kader terbaik rakyat di
daerah.Menjerat kepala daerah sebagai kader terbaik di daerah terjerat kasus
korupsi yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan. Hal ini membawa kerugian yang besar
bagi daerah.Satu sisi mekanisme pemilihan kepala daerah yang demokratis telah
mengantarkan kader terbaik daerah tampil mempimpin daerahnya sendiri dengan
harapan kedekatan psikologis bisa membangunkan semakin reformasi di daerah bisa
lebih sejahtera. Namun sebaliknya menyebabkan moralitas dan mentalitas aparatur
di daerah mudah tergiur dengan aliran dana pusat kepada daerah yang begitu
besar. Sementara kemampuan profesionalitas pengelolaan anggaran belum
mendapatkan pelatihan sumber daya yang memadai, sehingga banyak penyimpangan
yang terjadi. Untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah ini
maka suatu langka sistematis harus di ambil. Upaya-upaya meningkatkan syarat
pendidikan dan pengelaman berorganisasi ataupun peningkatan frekuensi
latihan,kursus,dan sebagainya,yang berkaitan dengan bidang tugas yang menjadi
tanggungjawabnya masing-masing perlu di tingkatkan.Beberapa hal yang perlu
dikemukakan yang menjadi persoalan bagi DPRD yaitu:
Dengan
pola rekrutmen anggota DPRD yang lebih menekankan kepada aspek politis, maka
ditemui anggota DPRD yang rendah kualitasnya baik dari segi pengetahuan maupun
pengalamannya.Ada kecendrungan jadi anggota DPRD sebagai satu-satunya lapangan
pekerjaan bukan pengabdian sehingga lebih mementingkan imbalan yang
bersifat material-finansial.Kurang ada kemauan untuk belajar bagi peningkatan
kapasitas pribadi, sehingga gagasan, pendapat ataupun pandangan hanya
didasarkan kepada faktor subjektifitas. Penguasaan yang minim tentang
kedudukan, hak dan kewajiban sebagai anggota DPRD, sehingga sering
implementasinya menempatkan diri sebagai penguasa bukan wakil rakyat. Guna mendapatkan anggota DPRD yang
berkualitas, maka hendaknya dalam persyaratan menjadi anggota DPRD ditentukan
dasar pendidikan minimal yang sesuai dengan tingkat rata-rata pendidikan
masyarakat.
Perlu
pemahaman bagi anggota DPRD bahwa jabatan sebagai anggota DPRD bukan merupakan
pekerjaan semata tetapi adalah jabatan kehormatan yang tidak bergantung kepada
besarnya upah/gaji yang diterima.Adanya kewajiban bagi setiap anggota DPRD
untuk mendapatkan pembekalan dan pendalaman terhadap hal-hal yang menyangkut
legislasi, anggaran dan pengawasan.Pembekalan tersebut hendaknya dilakukan oleh
institusi pemerintah atau institusi yang profesional yang telah mendapatkan
akreditasi dari pemerintah.
Penetapan
Belanja DPRD sebaiknya proporsional dengan pendapatan daerah serta dalam
rangka menunaikan fungsi serta tanggungjawab sebagai wakil dan penyalur
aspirasi dari rakyat.Otonomi daerah terlaksana dengan baik bukan hanya dengan
tersediannya undang-undang dan peraturan, tetapi sangat tergantung pada sumber
daya manusia yang melaksanakannya berupa pemahamannya, kemauannya dan
kemampuannya.
b. Aparatur Pemerintah Daerah
Salah satu
atribut penting yang menandai suatu daerah otonom adalah di miliki aparatur
pemerintah daerah tersendiri yang terpisah dengan aparatur pemerintah pusat
yaang mampu menyelemggarakan urusan-urusan rumah tangganya sendiri. Sebagai unsur pelaksana aparatur
pemerintah daerah menduduki peranan yang sangat vital dalam keseluruhan prose
penyelenggaraan otonomi daerah.Oleh karena itu tidak berlebihan bila di katakan
bahwa keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat bergantung kepada
kemampuan aparaturnya. Dalam kenyataan tuntutan akan
kualitas yang memadai belum sepenuhnya terpenuhi sehingga akan menghambat
proses penyelenggaraan otonomi daerah karena aparatur yang akan bersentuhan
langsung dengan tugas yang akan dilaksanakan,sehingga penyelenggaraan otonomi
daerah belum sesuai dengan yang di harapkan.
Masih
rendahnya profesionalitas birokrasi, disebabkan antara lain pola rekruitmen
yang belum sempurna (menyangkut perencanaan kebutuhan dan seleksi). Pola pembinaan karir yang belum
mempunyai aturan yang jelas dan pasti, sehingga mempengaruhi terhadap semangat
dan budaya kerja birokrasi. Penempatan pada suatu jabatan banyak
dipengaruhi oleh pertimbangan like and dislike tidak the right man on the right
place, bahkan tidak didasarkan kepada kompetensi tetapi kepada
kedekatan dan bukan kepada pencapaian tujuan organisasi, tetapi
kepentingan kekuasaan.
Masih
berpengaruhnya kekuatan politik pada birokrasi daerah, sehingga loyalitas
aparatur pemerintah cenderung lebih kuat kepada kekuatan politik dari pada
kepentingan masyarakat dan menjalankan tugas pemerintahan. Paradigma birokrasi yang masih belum
banyak berubah seperti merasa sebagai penguasa tidak sebagai pelayan, mengukur
sesuatu pekerjaan hanya untuk kepentingan sesaat, ingin mencari kelemahan
aturan untuk kepentingan diri sendiri tidak berusaha menyempurnakan aturan,
lebih mau bekerja sendiri dari pada bekerja secara TIM dan tidak mengembangkan
inisiatif, inovatif dan kreasi,untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah maka
suatu langkah sistematis perlu di ambil. Upaya-upaya peningkatan syarat pendidikan
dan pengelaman berorganisasi ataupun peningkatan frekuensi latihan,kursus dan
sebagainya yang berkaitan dengan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab
masing-masing perlu di tingkatkan. Pola rekrutmen telah membaik khusus
perencanaan pengadaan dan seleksi.Namun masih diperlukan penyempurnaan tentang
perencanaan yang diarahkan kepada kebutuhan (jumlah dan kualitas) jangka
panjang.
Diperlukan
pembinaan aparatur yang profesional tidak hanya melalui pendidikan atau
latihan, tetapi memberi kesempatan utama mendapat jabatan atau pekerjaan kepada
aparat yang telah memiliki profesi dibidang tugas tertentu. Dalam menempatkan seseorang pada
jabatan harus dipertimbangkan betul tentang profesinya dan melalui suatu
seleksi (psiko, kesehatan dan kompetensi).Tes kompetensi tersebut, jika
dimungkinkan oleh lembaga yang ahli dan independen.
Harus ada
ketentuan yang tegas, bahwa politik tidak mencampuri penentuan penempatan untuk
jabatan-jabatan struktural.Pola Reward and Punishment ditegakkan secara adil
dan profesional, sehingga tidak terkesan sama rata atau
diskriminatif.Pola pembinaan karir para aparatur hendaknya ditetapkan secara
jelas dengan suatu peraturan perundangan sehingga akan menjadi pedoman dalam
pembinaan aparatur di daerah.
c. Masyarakat
Masyarakat
menjadi salah satu faktor penting bagi setiap kebijakan yang diberlakukan,
karena masyarakat sesungguhnya adalah pelaku utama, yang langsung “bersentuhan”
atau berkepentingan dengan kebijakan tersebut.Oleh karena itu, sangat naif jika
kita menghendaki suatu kebijakan berhasil tanpa melibatkan
masyarakat.Persoalannya, hanya, sampai seberapa jauh kita dapat dan perlu
menyertakan masyarakat dalam suatu kebijakan serta bagaimana membangun
partisipasi aktif dari suatu masyarakat yang sedang dilanda krisis multi-dimensi,
seperti masyarakat kita dewasa ini?
Secara
umum, kita dapat mengatakan bahwa peran-serta masyarakat secara nyata dalam
proses implementasi Otonomi Daerah berlum begitu menonjol. Kalau pun ada, yang
terjadi bukanlah untuk menunjang kelancaran kebijakan Otonomi Daerah. Peran-serta masyarakat malah membuat
kebijakan tersebut kerap dituding sebagai biang keladi terjadinya konflik –
horizontal – di daerah.Mengapa?
Ada
beberapa hal yang perlu kita kemukakan di sini berkaitan dengan partisipasi
masyarakat dalam proses kebijakan publik. Pertama, apakah suatu UU yang kita
terapkan menyentuh langsung kepentingan rakyat banyak atau tidak? Dengan kata
lain, apakah UU dimaksud menguntungkan bagi rakyat atau tidak?
Banyak
masyarakat yang apatis, acuh dan bahkan menentang suatu UU, seperti aksi buruh
yang menentang UU Perburuhan dan aksi penentangan terhadap UU Lalu-Lintas Jalan
Raya beberapa waktu lalu. Bila dikaji secara mendalam, semua
penentangan masyarakat dimaksud dipicu oleh ketidak-berpihakan UU tersebut
kepada masyarakat dan cenderung untuk merugikan mereka.
Kedua,
kemungkinan kebijakan Otonomi Daerah, UU atau aturan pelaksanaaanya belum
sampai kepada masyarakat dan kebijakan itu baru sebagian yang dipahami oleh
para pejabat dan elite politik daerah. Karena terpenggalnya komunikasi
seperti itu, maka dapat dipahami bila Otonomi Daerah dalam praktiknya di
lapangan malah menimbulkan permasalahan. Kebijakan yang dipahami secara
sepotong-sepotong itu cenderung melahirkan “pengaturan” yang aneh pula.
Contohnya, masyarakat dewasa ini di Indramayu, Jawa Barat, sudah mengadakan
rapat-rapat “persiapan” lebaran yang menurut kabarnya akan melarang setiap
kendaraan yang melalui jalur alternatif di wilayahnya.
Apakah
larangan itu akan dikaitkan dengan sejumlah pungutan sebagai solusi agar
kawasan tersebut dapat dilalui bus-bus besar, sampai sejauh ini kita belum tahu
persis keputusan yang akan mereka ambil.Jauh sebelum masyarakat Indramayu
melakukan langkah itu, nelayan di Masalembo, Jawa Timur, telah membuat aturan
bahwa nelayan daerah lain tidak boleh menangkap ikan di kawasan itu. Kapal
nelayan yang membandel, secara beramai-ramai, akan disita.
Kapal
tangkapan itu selanjutnya akan dibakar, atau dikembalikan kepada pemiliknya
dengan uang tebusan dengan jumlah tertentu. Selain itu, berbagai macam aturan
lain juga dibuat masyarakat lainnya, yang kerap memancing munculnya konflik.
Ketiga,
belum ada kesadaran kita untuk melibatkan peran-serta aktif masyarakat secara
nyata.Yang terjadi adalah bahwa masyarakat sering kita pergunakan hanya sebagai
pelengkap, kalau tidak kita sebut sebagai pelengkap penderita.
Oleh
karena itu, kita pun tidak begitu heran ketika kemudian terjadi berbagai
kesenjangan di dalam masyarakat. Akibatnya, kita pun tidak perlu heran bila
“kebijakan” atau pandangan antara elite politik dan pejabat daerah sering tidak
“nyambung” dengan keinginan masyarakat. Contohnya, meskipun daerah mengeluarkan
suatu Peraturan Daerah, belum tentu peraturan itu berjalan efektif, karena visi
dan misi antara yang memerintah dan yang diperintah belum sama. Pertanyaannya
kemudian adalah bagaimana mungkin masyarakat dapat berperan-serta aktif dalam
proses kebijakan Otonomi Daerah, sementara ia tidak mengerti mengenai apa yang
dikehendaki melalui pembentukan kebijakan tersebut. Dampaknya adalah, antara
lain, bongkar-pasang Peraturan Daerah sepertinya sudah menjadi hal yang biasa.
1. Belum dipahami oleh masyarakat atau
pun pemuka masyarakat bahwa otonomi daerah itu adalah juga merupakan kewajiban
dan tanggung jawab masyarakat.
2. Masih sedikit diberikan/diserahkan
kepada masyarakat untuk mengelola kebutuhannya, masih diciptakan seolah-olah
masyarakat tergantung kepada pemerintah.
3. Belum dilakukannya perkuatan
terhadap lembaga-lembaga masyarakat yang berorientasi kepada ekonomi dan
kesejahteraan, yang diperkuat adalah yang berorientasi kepada politik dan
kekuasaan.
Lantas, bagaimana caranya agar
masyarakat dapat berperan-serta secara aktif dalam menyumbangkan pikiran dan
tenaganya berkaitan dengan implementasi Otonomi Daerah?
1. Pemberian pemahaman yang terus
menerus mengenai hakikat dan tujuan Otonomi daerah kepada pemuka masyarakat,
tidak hanya berbentuk penyuluhan yang formil tetapi juga non formil, termasuk
membuat kebijakan yang lebih memberi pemahaman implementatif tentang otonomi
daerah di tingkat masyarakat.
2. Memperbesar keikutsertaan masyarakat
dalam pembuatan kebijakan maupun usaha-usaha peningkatan kesejahteraan (ekonomi
dan sosial).
3. Memperkuat lembaga-lembaga
masyarakat dari segi manajemen dan keuangan diikuti dengan pembinaan serta
pengawasan yang terus menerus.
4. Mempermudah dan memfasilitasi
masyarakat untuk menjalankan kegiatan dan usaha-usaha yang produktif – ekonomis.
5. Menggiatkan pendidikan keterampilan
dan alih teknologi untuk masyarakat.
Ada
beberapa pendekatan yang dapat diketengahkan untuk membangun partisipasi aktif
masyarakat, yaitu: Pertama, aturan atau perundangan yang kita terapkan harus
menyentuh dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Kita kita bisa berharap
banyak bahwa masyarakat akan mau berperan-serta aktif, sementara aturan yang
ada justru cenderung memberatkan mereka. Bila kebijakan Otonomi daerah yang
diberlakukan dewasa ini belum mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat,
misalnya, hal ini boleh-jadi karena UU tersebut belum menyentuh kepentingan
mereka.
Dengan keterlibatan
secara aktif masyarakat dalam UU yang kita bentuk, tanpa kita ajak pun, mereka
secara otomatis akan berpartisipasi aktif. Hanya, sayangnya, dan itu yang
sering terjadi, UU atau aturan yang kita buat kerap bukan untuk kepentingan
masyarakat.
Kedua,
perlu publikasi yang luas dan mendalam atas setiap kebijakan yang
diberlakukan.Yang kita maksudkan publikasi disini adalah penjelasan atau
sosialisasi kebijakan dimaksud kepada masyarakat.Selama ini yang sering kita
pantau dan tangkap, sosialisasi kebijakan hanya diberikan kepada para elite
politik atau pejabat tertentu, dalam jumlah yang terbatas pula, tanpa
melibatkan secara aktif peran-serta masyarakat.Padahal kita tahu, kebijakan itu
adalah untuk masyarakat dan aturan tersebut dikenakan kepada masyarakat. Sebab
itu, sangat ironis jika mereka yang menjadi obyek suatu kebijakan tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan.
Kita sebut
publikasi yang luas dan mendalam artinya adalah memberikan penjelasan kepada
masyarakat dengan bahasa masyarakat, yang jelas dan mudah dimengerti, karena
masyarakat kita sangat majemuk, dengan tingkat pendidikan dan penalaran yang
beragam pula. Sangat tidak masuk akal bila kita menjelaskan suatu kebijakan
kepada mereka dengan bahasa ilmiah, politik, atau pun bahasa lain yang sulit
dimengerti oleh “rakyat banyak”. Bila bahasa “canggih” atau yang tidak
memasyarakat seperti itu yang kita pergunakan, hampir pasti bahwa penjelasan
yang disampaikan tidak akan sampai atau menyentuh hati mereka.
Ketiga,
kita juga perlu memilih dan mempergunakan media yang tepat guna. Artinya, media
yang dikenal dan sering bersentuhan dengan masyarakat serta menggunakan bahasa
rakyat akan jauh lebih efektif daripada media lainnya. Ia dapat berupa tabloid,
majalah, surat kabar, televisi, dan bahkan para ulama dan tokoh agama dalam
masyarakat.
Dengan
cara atau pendekatan seperti itu, kita yakin, pesan yang hendak kita sampaikan
ke tengah-tengah masyarakat akan sampai dengan lebih baik. Media yang belum
begitu banyak dilakukan dalam rangka sosialisasi kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah dewasa ini, misalnya, adalah dakwah, khotbah dan “ruang-ruang”
pengajian.Padahal, media ini adalah merupakan salah satu alternatif media
masyarakat yang dapat dipergunakan untuk memperkenalkan otonomi daerah secara lebih
luas dan lebih efektif.
Lewat
dakwah, pesan otonomi daerah akan lebih mengena, karena kesan yang ditangkap
bukan menggurui, tetapi lebih cenderung mengajak dan mengajak untuk berbuat
secara konkrit untuk kelancaran dan keberhasilan implementasi otonomi daerah.
Melalui cara ini, umat diharapkan akan berpartisipasi secara aktif bersama umat
beragama lainnya.
Jadi, bila
peran-serta aktif masyarakat dalam implementasi otonomi daerah sekarang belum
terlihat, bukan berarti bahwa mereka tidak perduli dan tidak menghendaki adanya
kebijakan tersebut.Tetapi, ada beberapa hal yang kurang kita perhatikan atau
kita lupakan belakangan ini. Harapan kita, lewat apa yang kita ketengahkan di
atas sebagai “urun rembug” untuk pencapaian tujuannya, di waktu mendatang, otonomi
daerah akan dapat diterima oleh masyarakat secara baik dan benar. Dengan
demikian, partisipasi aktif masyarakat untuk kelancaran dan keberhasilan
implementasi otonomi daerah itu pun tidak perlu lagi diragukan.
d. Korupsi di Daerah
Fenomena
lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan
implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke
daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak
pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat
untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding.Juga, mulai terdengar
bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif
untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada
sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana legislatif Kota
Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang dengan
alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus
ada bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa
anggaran seharusnya tidak dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus
disetorkan kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari kacamata apapun
perilaku pejabat publik yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan haknya
adalah tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan
sangat terbuka.
Sumber
praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan
barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah
item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan
rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan
kepada pejabat daerah juga merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah
dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari pihak ketiga kepada
pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa
kenaikan kekayaan pejabat daerah setelah mereka menjabat posisi tertentu?
Seberapa drastis perubahan gaya hidup para pejabat publik itu?
Berikut ini beberapa modus korupsi
di daerah:
1. Korupsi Pengadaan Barang
2. Penghapusan barang inventaris dan
aset negara (tanah)
3. Pungli penerimaan pegawai,
pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
4. Pemotongan uang bantuan sosial dan
subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
5. Bantuan fiktif
6. Penyelewengan dana proyek
7. Proyek fiktif fisik
8. Manipulasi hasil penerimaan
penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.
2.2.5 Adanya
Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah
Ada gejala cukup kuat dalam
pelaksanaan otonomi daerah,yaitu konflik horizontal yang terjadi antara
pemerintah provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota,sebagai akibat dari
penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa tidak ada
hubungan hierarkhis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota menganggap kedudukannya sama
dan tidak ta’at kepada pemerintah provinsi. Ada arogansi pemerintah kabupaten
/kota, karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari
pemerintah kabupaten /kota.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah
muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena primordial kedaerahan semakin
kuat.Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daearah
yang menyangkut pemekaran daerah,pemilihan kepala daerah,rekruitmen birokrasi
lokal dan pembuatan kebijakan lainnya.
Selain itu, ancaman disintegrasi
juga dapat memicu sebuah konflik.Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada
daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman
penjajahan.Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah
dan daerah kering.Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan
antara daerah kaya dan daerah miskin.Adanya potensi sumber daya alam di suatu
wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah
masing-masing.Konflik horizontal sangat mudah tersulut.Di era otonomi darah
tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana.Pemekaran ini telah
menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping.Satu
provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga
kabupaten, dan seterusnya.Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah
separatisme dan perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa
sangat mungkin terjadi, bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi
daerah campur tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa.
Melalui otonomi daerah, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke
kampung-kampung.
Sebenarnya pemberian otonomi dan
desentralisasi politik pada daerah tidak otomatis menjadi solusi untuk
mempererat integrasi nasional.Bahkan sebaliknya memberi ruang bagi tumbuhnya
semangat kedaerahan yang berlebihan.Hal ini terjadi karena pola hubungan antar
etnis di Indonesia selama ini tidak dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam
dan komprehensif mengenai pemaknaan terhadap karakteristik masingmasing etnis.
Yang mengemuka justru pola-pola stereotip yang mengarah pada prasangka satu
sama lain. Tidak ada mekanisme yang dapat mempersatukan etnis yang satu dengan
etnis yang lain secara alamiah, bahkan mekanisme pasar sekaligus didasarkan
atas etnisitas. Misalnya di daerah Nusa Tenggara Timur, pembagian kerja antara
pedagang sayur dengan pedagang daging didasarkan atas etnisitasnya.
Di sisi lain, politik daerah yang
dikembangkan pada era transisi ini belum menempatkan daerah sebagai ruang
politik tetapi sebagai ruang kultural. Akibatnya, proses politik dan relasi
kekuasaan di daerah pun didasarkan pada pola-pola hubungan primordial.
Keinginan untuk dipimpin oleh putra daerah merupakan kewajaran dalam ruang
kultural, tapi tidak dalam ruang politik karena ruang politik mensyaratkan
persamaan hak-hak warga negara di mana pun ia berdomisili.
Pemaknaan otonomi secara kultural
memandang politik lokal sebagai kesatuan nilai, kultur, kustom, adat
istiadat dan bukan sebagai konsep politik. Perspektif ini juga mengakui
kemajemukan masyarakat namun dalam arti sosio-kultural, di mana setiap
masyarakat dan lokalitas adalah unik sehingga setiap masyarakat dan lokalitas
memiliki hak-hak sosial, ekonomi, budaya, dan identitas diri yang berbeda
dengan identitas nasional.Pemahaman inilah yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan
daerah yang bernuansa etnisitas.Sedikit banyak karakteristik masyarakat
Indonesia yang pluralistik dan terfragmentasi, turut mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya etnonasionalisme.
Pola hubungan antar etnis dilakukan
dalam proses yang linear tanpa adanya potensi bagi terjadinya cross-cutting
afiliation. Akibatnya, tidak ada ruang bagi bertemunya berbagai etnis
secara sosial. Sebagai misal, seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan
Muslim, pasti akan bersekolah di pesantren atau sekolah yang berlatar agama
(Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan
tinggi di perguruan tinggi Islam, dan secara sosial kemudian bergabung dengan
organisasi-organisasi bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Secara politik,
berlakunya politik aliran menyebabkan sudah dapat dipastikan bahwa ia akan
memilih partai Islam. Dengan demikian, jelaslah bahwa pola interaksi antar
etnis menjadi sulit dilakukan karena tidak ada ruang baginya untuk mengenal
etnis lain, apalagi memahami etnis lain di luar stereotip yang selama ini
mengemuka. Maka yang kemudian timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan
bukan identitas kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.
2.3 Penyelesaian Permasalahan Otonomi
Daerah di
Indonesia
Pada intinya, masalah – masalah
tersebut seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri, terlepas dari
keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer
melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah
ada sejak lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul
dipermukaan sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah memang
memungkinkan untuk itu. Otonomi telah menciptakan kesempatan untuk
mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi peluang bagi para “pahlawan baru” menganggap dirinya telah berjasa di
era reformasi untuk bertindak “semau gue”.
Untuk menyiasati beratnya beban
anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan alternatif, selain
intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif
bagi perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi
perusahaan daerah. Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah
mengetahui alternatif ini. Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas
pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan lain. Dugaan saya adalah
bahwa pemerintah daerah itu malas! Pemerintah tidak mempunyai keinginan kuat (strong
will) untuk melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang.Di
samping itu, ada keengganan (inertia) untuk berubah dari perilaku boros
menjadi hemat.
Upaya revitalisasi perusahaan daerah
pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan
pemerintah.Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan
kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip
pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis,
pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi
hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan
perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi.
Dalam kaitannya dengan persoalan
korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah
juga perlu diupayakan.Saya punya hipotesis bahwa pemerintah daerah atau pejabat
publik lainnya, termasuk legislatif, pada dasarnya kurang bisa dipercaya,
lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
daerah.Tidak pernah sekalipun terdengar ada institusi pemerintahan, termasuk di
daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat.Masyarakat harus turut
aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat publik, yang
jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat pembayar pajak
yang diwakilinya.Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat justru bertindak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani keadilan
masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala daerah atau pejabat publik
lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan
pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap atawa hibah dalam kaitan
jabatan yang dipangkunya.
Pemeritah juga seharusnya merevisi
UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru di bawah ini penulis merangkum
solusi untuk keluar dari masalah Otonomi Daerah tanpa harus mengembalikan
kepada Sentralisasi. Jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mengatasi masalah
tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat segera terwujud.
- Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi Pembangunan di daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan membuat pemerataan pembangunan antar daerah.
- Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan mengadakan kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban mengibarkan bendera merah putih.
- Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian korupsi yang dilakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi membuat kepala daerah melakukan korupsi.
- Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan peraturan diatasnya yang lebih tinggi.
- Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan daerah untuk mencegah pembentukan dinasti politik.
- Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih mendagri yang berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.
- Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi birokrasi), mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat. Melakukan efisiensi anggaran.
- Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan Pajak serta mencari dari sektor lain seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Otonomi daerah adalah suatu keadaan
yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang
dimilikinya secara optimal.Dimana untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku
proposisi bahwa pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan
kepada daerah untuk mengidentifikasikan,merumuskan,dan memecahkannya, kecuali
untuk persoalan-persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah
itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara – bangsa. Dalam Sidang Tahunan
MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000
tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain
merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan
menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah otonom untuk
menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan
pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan,kebijakan nasional otonomi daerah
ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18UUD 1945.
Adapun dampak negative dari otonomi
daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk
melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah daerah
dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya
tinggi dangan daerah yang masih berkembang.Bisa dilihat bahwa masih banyak
permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan
awal dari otonomi daerah dapat tercapai.
3.2. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan
diatas, Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan
pemerintahan dan antar pemerintah daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah. dengan meletakkan pelaksanaan
otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam
pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Kesempatan yang
seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan
mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas
kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu
bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan pelaksanaan
Otonomi Daerah.
Pihak-pihak yang berkepentingan
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya membuang jauh-jauh egonya untuk
kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya dan lebih mengedepankan
kepentingan masyarakat.Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak bertindak egois
dan melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Diklat Teknis Penganggaran di
Era Desentralisasi, kerjasama LAN – Depdagri.
Inventarisasi
Penyerahan Urusan Pemerintahan Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda – Depdagri.
Marzuki, M. Laica, 2007. Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem
Ketatanegaraan RI – Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007, Jakarta :
Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Siregar, Faris. 2011. Hambatan Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Dari http://catatankuliahpraja.blogspot.com/2011/09/hambatan-pelaksanaan-otonomi-daerah.html , dikutip pada 27 Maret 2012
Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah
Peran Aktif Masyarakat dalam Otonomi Daerah. Dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437 , dikutip pada 27 Maret 2012.
Undang-Undang
No. 22/1999
Undang-Undang
No. 32/2004
Undang-Undang
No. 33/2004
[1] Prof Dr J
Kaloh: Kekuasaan paksaan (esencive power), kekuasaan resmi (legitimate power),
kekuasaan keteladanan (referent power) dan kekuasaan keahlian (exper power).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar