Xhavadzo: Januari 2013

Jumat, 11 Januari 2013

Dalil Koplak Pengasong Liberalisme

Berita tentang Aceh selalu seksi. Sebab Aceh adalah serambi Mekkah yang dengan otonomi khusus dan keistimewaannya telah mendeklarasikan diri sebagai provinsi yang melaksanakan syariat Islam. Memang faktanya selalu ada upaya menyudutkan syariat Islam yang diformalisasikan menjadi hukum positif. Sedikit saja ada kebijakan baru, lantas berbondong-bondonglah wartawan dari berbagai penjuru untuk meliputnya, namun dengan angle yang diskriminatif: HAM.
Bagaimana tidak? Setiap berita tentang sesuatu yang bernuansa syariah, pastilah media-media ini dengan cepat melakukan investigasi dan menguliti peristiwanya dengan kacamata mereka. Maka ini melanggar kebebasan, ini mengekang perempuan, itu menodai HAM dan itu mencederai domokrasi. Begitulah kilahnya.
Sampai akhirnya ketika kemarin “Ngangkang Style” menjadi salah satu trending topic nasional. Pasalnya adalah apa yang disebut para wartawan sebagai “perda syariah tentang larangan duduk mengangkang di sepeda motor” yang akan diterapkan oleh Walikota Lhokseumawe kepada seluruh warganya. Sampai koran The Jakarta Post menjadikannya salah satu topik utama. Media asing semacam BBC pun tak mau ketinggalan memberitakannya. Heboh sekali, bukan?
Namun lihatlah dengan jujur. Yang ada hanyalah upaya merorong Islam. Pemberitaan yang berseliweran di media tak memenuhi asas cover both side. Narasumber berita hanya berasal dari kelompok yang kontra peraturan tersebut. Kalau tidak aktivis NGO HAM, ya aktivis Komnas Perempuan. Nanti, agar seolah-olah mengcover posisi ulama, sebagai reprentasi muslim diwawancarailah para “cendekiawan muslim” seperi Ulil Abshar Abdalla dan Siti Musdah Mulia. Ya wajar saja mereka menolak, wong mereka memang anti formalisasi syariah. Wong mereka memang dari kalangan liberal yang menolak ajaran agama sebagai sumber hukum.
Sampai tadi malam (7/1), dalam acara Debat di Kabar Petang TV One membahas kembali tema itu dengan judul provokatif, “Perda Syariah, Siapa Resah?”. Dihadirkanlah Yenni Wahid dari Wahid Institute, Neng Dara Affiah dari Komnas Perempuan, Jazuli Juwaini anggota DPR RI FPKS dan Kapuspen Kemendagri. Kalau pejabat Kemendagri sudah pasti jawabannya standar. Semua ada prosedurnya. Nanti kita akan konfirmasi, klarifikasi dan seterusnya. Okelah, memang begitu aturannya.
Nah, yang bikin geli adalah kekoplakan dalil pengasong liberalisme seperti Yenni, Dara dan sejumlah hadirin yang sengaja dihadirkan seperti Ulil Abshar, Siti Musdah Mulia serta sejumlah aktivis HAM. Dalam debat itu, semua dalih mereka dimentahkan. Yang buat istilah “Perda Syariah” siapa? Itulah taktik liberalis mengelabui orang awam dengan permainan istilah. Padahal tak ada Perda Syariah. Hanya LSM komprador yang mendapat kucuran dollar dari Barat yang setia menggunakan terma ambigu semacam itu.
Lalu, muncul lagi pernyataan bahwa perda ini “diskriminatif terhadap perempuan”. Secara telak, Mahendradata memukul statement koplak ini. Apa dulu definisi diskriminatif itu? Apa itu diskriminasi? Toh perempuan dan laki-laki secara kodrat memang berbeda. Apakah setiap perbedaan itu disebut diskriminasi? Kalau begitu kebijakan cuti hamil 3 bulan itu diskriminatif, dong? Soalnya laki-laki tidak mendapat hak yang sama. Kalau begitu diskriminatif juga dong panitia acara yang hanya memberi makan malam pada pembicara, namun tidak kepada peserta? Para hadirin hanya bisa tersenyum dan tertawa seraya bertepuk tangan atas kalahnya dalih koplak kaum liberalis.
Selain itu, muncul juga istilah “perda kontroversial”. Lagi-lagi Mahendrata meluruskan kesesatan istilah tersebut. Yang dimaksud kontroversi itu apa? Apakah satu dua orang tidak setuju, sementara ribuan yang lain setuju lantas disebut kontroversial? Mati kutu. Begitulah kaum liberalis tak bisa menjawab. Lantas Siti Musdah Mulia mengalihkan pembicaraan, ia yang awalnya tak setuju syariah di awal debat berubah pikiran. Namun setelah kalah debat, ia mengubah strategi. Larikan tema pembicaraan. Dan saya sudah menduga dia dan juga Ulil akan bertanya, “Oke, syariat Islam. Tapi syariat Islam yang mana? Islam menurut siapa? Karena setiap agama memiliki interpretasi yang tidak tunggal.” Duh.. Cape deh. Ini alasan yang gokil banget. Khas pemuja relativisme yang anti kebenaran. Khas orang-orang yang malas berdiskusi.
Yang lebih lucu adalah saat Yenni Wahid di pengujung acara mengatakan kalau kodrat perempuan hanya 4 yaitu menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. ” Di luar itu, laki-laki dan perempuan semuanya sama,” pungkasnya. Oke, tentu saja semua sepakat laki-laki dan perempuan harus adil dalam pembagian hak dan kewajibannya. Sebagai Muslim, pedoman pembagian hak dan kewajiban juga sudah tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Jadi sah-sah saja kalau umat Islam menggunakan ajaran agamanya sebagai patokan hukum. Perempuan dan laki-laki sama-sama boleh mendapat pendidikan oke, sama-sama boleh berkerja oke, sama-sama mendapat kesempatan politik juga tidak masalah. Namun jangan sampai atas nama kesetaraan, lantas aktivis yang mengaku “membela kepentingan perempuan” menggugat ajaran agama. Jangan aturan menutup aurat dituduh mengekang kebebasan. Jangan larangan berkhalwat difitnah memasung hak asasi.
Semua pernyataan Yenni ini sebenarnya di awal sudah dimentahkan oleh Jazuli Juwaini dan Ismail Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia. Juga fitnah soal Indonesia bukan negara agama. Kata Jazuli, memang kita bukan negara agama, kita sepakat dengan itu. Namun kita juga bukan negara sekuler. Kita tidak anti agama. Tidak boleh negara memberangus ajaran agama. Apalagi konstitusi kita Pancasila, menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ismail Yusanto menambahkan, dalam ajaran Islam, kewajiban syariat Islam hanya berlaku untuk umat Islam, sementara untuk yang beragama lain tetap diberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Jadi, tidak ada diskriminasi dan pemaksaan seperti yang selalu digembar-gemborkan media.
Uniknya, Yenni Wahid dalam acara itu membuat perumpamaan yang sempat mendapat aplaus hadirin. Dia mengkritisi perda-perda yang mewajibkan perempuan menutup aurat. Katanya, yang kotor itu adalah otaknya laki-laki. “Masa’ melihat perempuan ngangkang di sepeda motor bisa merangsang birahi?” Dia mencontohkan negara-negara Arab yang perempuan menutup aurat namun tingkat perkosaannya nomor wahid, mengalahkan negara Eropa yang perempuannya buka-bukaan. Sedihnya, pernyataannya ini adalah kedustaan belaka. Entah dia sadar atau tidak. Ustadz Abdullah Haidir, Lc sebagaimana dikutip Fimadani mengatakan, “Berdasarkan statistik resmi, negara papan atas kejahatan perkosaan terhadap warganya justru diduduki oleh negara-negara Eropa. Bagaimana dengan Arab Saudi? Dari 116 negara yang diteliti, Arab Saudi justru berada di peringkat terbawah di posisi 115.” Cek saja sumbernya di http://www.nationmaster.com/.
Kata anak Medan, “Bah, botullah koplaknya penyembah berhala liberalisme ini. Kekmananya? Ngomong di tipi pun menipu.”
Mendudukkan “Perda Ngangkang”
Benarkah ada Perda Ngangkang? Cek langsung ke lapangan dan Anda akan menemukan bahwa yang ada hanyalah Seruan Bersama yang diteken Walikota, Ketua DPR Kota Lhokseumawe, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe dan Ketua Majelis Adat Aceh Kota Lhokseumawe. Isinya juga tidak seheboh yang ada di pemberitaan media. Seruan tersebut juga tidak hanya melarang duduk mengangkang, tapi juga menyeru tentang berpakaian sopan. Bahkan larangan duduk mengangkang itu mendapat pengecualian dalam kondisi darurat. Bukankah ini satu hal yang wajar? Apalagi bagi Aceh, provinsi yang khusus lagi istimewa?
Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) menilai, perempuan duduk mengangkang di atas sepeda motor dengan aurat terbuka atau tidak mengenakan pakaian muslimah, bisa meruntuhkan marwah seorang perempuan. “Kebijakan ini bisa mengembalikan marwah perempuan yang ada di Aceh, kalau yang di luar Aceh tidak ada problem. Berbicara marwah sangat tergantung pada daerah,” katanya, dilansir Okezone, Kamis (3/1)”
Dari sisi agama, perempuan tetap diperbolehkan duduk terbuka atau ngangkang di sepeda motor asal jangan sampai terbuka auratnya dan tidak menciderai marwah seorang perempuan. “Sah-sah saja, asal aurat tetap terjaga, pakaian tetap sopan tidak menyerupai laki-laki, dan tidak menciderai marwah perempuan itu sendiri,” ujar Faisal yang juga Ketua PW Nahdatul Ulama Aceh.
Dalam konteks adat istiadat, seorang perempuan yang duduk ngangkang di sepeda motor menyerupai laki-laki dinilai bisa meruntuhkan marwah perempuan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai keAcehan. Ini tidak hanya identik dengan syariat Islam, tapi kalau saya lihat lebih kepada upaya untuk mengembalikan adat istiadat dan budaya Aceh yang mulai hilang. Sekira 20 tahun lalu, lanjut Faisal, perempuan ngangkang di sepeda motor merupakan hal tabu dan langka di Aceh, karena duduk seperti itu dinilai bisa menjatuhkan harga diri perempuan itu sendiri.
Aktivis Gerakan #SyariatkanMedia, Muda Bentara melalu akun jejaring sosialnya berpendapat bahwa menerapkan aturan berbasis kearifan lokal adalah hak setiap daerah. Meskipun aneh, namun begitulah local wisdom Aceh. Duduk secara mengangkang (duek phang) memang tabu dalam tradisi Aceh. “Mungkin Pemkot di sana punya pertimbangan lain. Misal seperti Singapura yang melarang memelihara kucing bagi penduduknya, melarang penjualan permen karet. Ataupun semisal Inggris yang tak boleh menampilkan dua jari (victory) yang disana dianggap menghina. Misal ketika di Amerika ada aturan yang apabila ada orang yang menyapa orang lain sambil mengupil maka hal itu bisa dipidanakan, misal juga ketika seseorang di Amerika menampilkan ekspresi jari yang dianggap melecehkan, misal juga sebuah maskapai penerbangan di New Zealand yang tak membolehkan penumpangan mengenakan celana kendor dan apabila mengenakannya akan diturunkan dari pesawat,” urainya panjang lebar. Itu semua negara maju dan tak ada yang protes serta meributkan.
Lebih tegas, aktivis Pusat Kebudayaan Aceh Turki (PuKAT), Thayeb Loh Angen dalam sebuah diskusi budaya di Banda Aceh mengatakan bahwa aturan baru Walikota Lhokseumawe adalah hak eksklusif penduduk setempat. Kritikan yang berkembang selama ini kebanyakan datang dari penduduk luar kota Lhokseumawe merupakan hal yang tidak pada tempatnya. Setuju atau tidak tentang aturan itu adalah hak mutlak penduduk Kota Lhokseumawe. “Ini bukan artinya saya mendukung kebijakan pemerintah Kota Lhokseumawe tentang larangan tersebut atau karena asal saya dari sana, tidak sama sekali. Saya katakan ini karena inilah kebenarannya. Setiap wilayah dan daerah punya hak eksklusif. Ini salah satunya,” kata Thayeb.
Rektor Institut Sastra Hamzah Fansuri ini mengingatkan supaya orang-orang mengurus daerahnya atau keluarganya masing-masing. Menurutnya, ini negara demokrasi, setiap daerah punya hak dan kebudayaannya. “Orang Aceh atau Indonesia jangan seperti istilah hadih majaAceh, ‘Keubeue grop paya guda coat iku (kerbau turun ke paya tapi malah kuda yang ketakutan sampai teak ekornya-red). Lucu jika aturan Lhokseumawe diprotes oleh orang Aceh Utara, apalagi Banda Aceh atau Jakarta. Itu tidak pada tempatnya. Sebaiknya orang mengurus daerah atau keluarganya masing-masing,” kata Thayeb.
Epilog
Intinya, semangat Walikota Lhokseumawe untuk melestarikan adatnya adalah sah dan bahkan patut didukung. Bagi orang Aceh agama ngon adat lagee dzat ngon sifeut. Agama dengan adat seperti dzat dengan sifat, tak bisa dipisahkan antara Aceh dan Islam. Seperti juga Minang yang punya asas adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Kalau kita memang pro demokrasi maka hargailah budaya lokal setempat dan hormatilah aspirasi masyarakat Lhokseumawe. Jangan karena lemahnya pemahaman atau kurangnya iman, membuat kita mati-matian menentang Islam. Kalau cuma perkara teknis yang jadi masalah tentu bisa didialogkan. Kalau isi seruan ini dianggap terlalu mengada-ada atau kurang sempurna, silakan sampaikan kritik dan masukan dengan jalurnya. Kata Mahendradata, “Kalau Anda rasa ini bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi silakan adukan ke Mahkamah Agung. Toh dulu Anda sudah kalah saat judicial review di MK.”
Yang jelas, jangan lagi pakai dalil dan fakta koplak hanya untuk menentang syariah. Tak usah provokasi masyarakat dengan berita dan informasi bohong. Nikmati saja demokrasi ini. Kita rayakan kebebasan dengan tanggungjawab sesuai hukum. Dan kita buktikan apakah Syariah atau Liberalisme yang membawa berkah? Wallahua’lam bish-shawab.

Oleh: Anugrah Roby Syahputra
Kompasianer, Pegiat Kelompok Studi Ulil Abshar Banda Aceh