I. PENDAHULUAN
Keraguan adalah pembahasan yang telah ada sejak awal sejarah filsafat Barat. Ia muncul ketika banyak pertentangan. Pada awalnya ia dilawan, di pertengahan ia di kompromikan, dan kini dibiarkan menjadi bagian dari narasi-narasi yang ada. Keraguan didefinisikan sebagai ketidakpastian tentang kebenaran sesuatu; mempersoalkan kebenaran suatu gagasan atau menganggapnya dapat dipersoalkan; condong akan kesalahan suatu pernyataan; kebimbangan antara ya atau tidak, antara pendapat yang bertentangan, tanpa menyetujui yang satu atau yang lainnya.
Keraguan Terhadap Agama muncul karena banyaknya agama yang ada di dalam masyarakat, dan masing –masing agama memiliki doktrin yang saling mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar. Doktrin antar agama itu saling serang di dalam masyarakat, bahkan pertentangan antara ajaran agama dengan budaya-budaya lain juga sering terjadi. Kondisi ketika pertentangan-pertentangan itu tidak dapat di damaikan, lalu kebenaran dan kesalahan tidak terlalu menjadi perhatian, karena masing-masing disokong dengan argumentasi-argumentasi yang dianggap sama kuat maka akan menimbulkan kebenaran itu menjadi bias. Pertemuan antara ajaran agama dan cabang-cabang ilmu lain, pembuktian secara ilmiah doktrin-doktrin agama dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern juga merupakan faktor kemunculan pandangan yang meragukan kebenaran agama. Padahal kita meyakini bahwa kebenaran agama mestinya yang bersifat absolut.
II. PEMBAHASAN
1. Naturalisme
Naturalisme berarti bahwa manusia adalah bagian dari alam dan alam itu sendiri adalah habitat manusia. Struktur manusia berasal dari alam, dan struktur yang dimaksud ialah jasmani, indera, dan berbagai keperluan dimana manusia tidak bisa memisahkan dirinya dari faktor-faktor natural atau mengabaikannya. Problem yang dihadapi oleh manusia modern, terutama oleh para ilmuwan adalah apakah agama bisa sejalan dengan teori-teori ilmiah ? sebab, ilmu menekankan pada pembahasan kepada alam fisik, sedangkan agama membahas hal di luar fisik. Ilmu menyelidiki natur sedangkan agama membahas supernatur. Ilmu tidak akan dapat tersusun kecuali atas dasar hukum alam yang tetap dan sistem yang sama. Ilmu mengkaji secara ilmiah hubungan sebab dengan akibat. Hubungan sebab dengan akibat adalah suatu hubungan yang tetap dan pasti.
Ibn Rusyd pernah mengemukakan bahwa hubungan sebab dan akibat adalah suatu hubungan yang tetap dan pasti karena tanpa kepastian hubungan sebab-akibat tidak akan ditemukan teori yang ilmiah. Selain itu jika semua benda tidak memiliki ciri tertentu, maka seseorang akan sulit memberikan definisi terhadap benda itu, seperti api sifatnya membakar. Kalau sifat-sifat membakar tidak ada pada api, maka api sâm dengan benda lain dan semua benda alam menjadi sama, padahal setiap benda memiliki ciri-ciri khusus[1]. Ilmu mempunyai konsep-konsep yang pasti tentang alam fisik, sementara agama juga memiliki doktrin-doktrin yang pasti tentang alam metafisik yang sulit di buktikan secara kasat mata. Sehingga dalam paham naturalisme tidak mengenal istilah Tuhan, mukjizat, surga, neraka dan do’a.
Ahli kedokteran prancis Claude Bernard, mengatakan bahwa syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan adalah dia harus memiliki pemikiran yang merdeka secara mutlak berdasarkan atas kesangsian filsafat.
2. Humanisme dan Eksistensialisme
Istilah Humanisme berasal dari humanitas, yang berarti pendidikan manusia. Humanisme menegaskan bahwa manusia adalah ukuran segalka sesuatu. Pico salah seorang tokoh humanisme berkata “ Manusia dianugrahi kebebasan memilih oleh Tuhan dan menjadikannya pusat perhatian dunia. Dengan posisi itu dia bebas memandang dan memilih yang terbaik. Lain halnya dengan Valla, salah seorang tokoih humanisme. Ia menolak superioritas agama atas manusia. Manusia berhak menjadi dirinya dan sekaligus menentukan nasibnya. Tujuan manusia adalah menikmati hidup dan bersenang-senang[2].
Humanisme dan eksistensialisme erat sekali hubungannya. Eksistensialisme adalah puncak dari perkembangan Humanisme. Eksistensialisme mengakui bahwa eksistensi mendahului esensi (hakikat). Eksistensialisme adalah paham yang berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar[3].
Manusia adalah individu yang bebas dan menghilangkan peranan Tuhan dalam kehidupannya. Eksistensialisme yang ekstrim tidak hanya sampai pada ketidakpercayaan kepada Tuhan, bahkan menyerang Tuhan. Nietzsche, salah seorang tokoh ekstensialisme, mengatakan bahwa Tuhan telah mati dan terkubur. Karena itu para penganut agama tak perlu takut akan dosa. Manusia bebas untuk menentukan nasibnya dan menjadi manusia super. Kebajikan yang utama adalah kekuatan, segala yang baik hárus kuat. Sebaliknya, yang lemah pasti buruk. Perang menurutnya adalah gejala yang wajar untuk menentukan siapa yang terkuat dảri berbagai bangsa[4].
Ada pun prinsip-prinsip dari humanisme adalah:
11. Manusia adalah binatang politik.
12. Dunia politik harus diceraikan dari segala pandangan metafisik atau agama, dan manusia adalah aktor yang memiliki wewenang mutlak dalam dunia politik.
13. Aktualisasi diri, pemeliharan diri dan peningkatan diri mesti dipelajari dalam setiap individu.
14. Manusia adalah pencipta lingkungannya dan bukanlah hasil lingkungannya.
15. Manusia harus terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya.
16. Kelayakan kepribadian setiap individu bisa terbentuk tanpa keimanan kepada Tuhan.
Ideologi-ideologi dibawah ini adalah ajaran-ajaran yang terbentuk berdasarkan paham humanisme:
3. Problem Kejahatan
Adanya kejahatan di jagad raya merupakan problem yang tidak henti-hentinya diperdebatkan, terutama oleh agamawan dan ilmuwan. Mengapa kejahatan itu ada, padahal Tuhan pencipta, Maha Kuasa dan sumber kebaikan. Mungkin Tuhan berkehendak untuk menghilangkan kejahatan dan Dia tidak mampu; Atau Dia mampu tetapi tidak berkehendak; Atau Dia sebenarnya berkehendak tetapi tidak mampu. Jika Dia menghendaki tetapi tidak mampu berarti Dia lemah. Jika Dia mampu tetapi tidak berkehendak berarti Dia irihati. Jika Dia tidak mampu dan tidak mauberarti Dia lemah. Jika Dia berkehendak dan mampu, hal mana sesuai dengan sifat Tuhan maka dari manakah datangnya kejahatan itu, dan mengapa Dia tidak menghilangkannya.
Maka timbul suatu pertentangan dalam diri Tuhan, yaitu Tuhan sebagai sumber kebaikan dan sekaligus tuhan sebagai sumber kejahatan. Hal ini tidak benar secara logika. Susunan argumen atheis adalah,
Menurut Geddes MacGregor, kejahatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kebaikan yang lebih tinggi
Menurut Asy'ariah, keyakinan tentang segala sesuatu yang terjadi tidak lepas dari hikmah Tuhan. Karena keterbatasan manusia tidak mampu mnengetahui semua hikmah yang ada. Hanya sedikit yang diketahui sedangkan yang belum di ketahui sangat banyak. Ibaratnya seperti tukang kebun yang selalu memotong rumput tetapi tidak memotong tanamannya. Kalau dilihat dari aspek rumputnya tukang kebun tidak adil. Namun kalau di lihat keseluruhan, rumput memang seharusnya di potong agar kebun terlihat indah[5].
4. Pluralitas Agama
Keragaman agama merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Munculnya berbagai agama pada masa sebelumnya secara historis tidak bisa menghapus agama yang muncul pada masa sesudahnya, begitu juga sebaliknya. Fakta ini meniscayakan adanya suatu pengakuan terhadap keragaman keyakinan[6]. Namun setiap agama memiliki sistematika atau konstruksi berupa modus yang dikembangkan oleh seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang meniscayakan pada suatu modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang terdapat dalam doktrin agama bisa dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Namun, tradisi penafsiran yang terus berkembang pada semua agama terhadap kodifikasi firman Tuhan, tentu banyak menghadapi kesulitan aktualisasi ketika dijembati dengan penafsiran pemahaman manusia. Kemudian perbedaan pemahaman ini menghasilkan pluralitas dalam keyakinan atau pluralitas agama atau kemajemukan agama.
Konstruksi itu rupanya juga berpengaruh terhadap agama lain, katakanlah antara Islam dan Kristen, Budha dan Hindu, Hindu dan Islam, dan seterusnya. Dalam konstruksi selalu ada keinginan membandingkan antara agama sendiri dengan agama lain yang kemudian berujung pada suatu klaim kebenaran (truth claim) terhadap keunggulan dalam hal otentisitas. Mudah ditebak arah klaim kebenaran tersebut. Pasti mengarah pada agamanya sendiri. Jika semua agama mengklaim bahwa agamanya yang paling benar, maka akan timbul juga pertanyaan mana agama yang paling benar dari sekian agama yang ada? Apakah semua agama itu benar, atau semuanya tidak benar? Kalau semua agama menklaim agamanya yang paling benar, bagaimana mengetahui agama yang paling benar?
Di satu sisi, klaim kebenaran tersebut memperkokoh keyakinan seseorang terhadap doktrin agamanya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana status keberagamaan seseorang tanpa ditopang oleh suatu klaim. Namun, dilain pihak juga akan menimbulkan pertanyaan mana doktrin agama yang paling benar ? dari keterbatasan manusia untuk mengetahui agama yang paling benar diantara agama-agama yang ada, lahirlah sikap “terbaik” yang mentolerir semua agama yang ada. berpijak pada pemikiran bahwa semua agama adalah baik, seorang pemeluk agama tidak boleh meyakini bahwa agamanya adalah yang terbaik, tapi harus meyakini bahwa semua Agama adalah yang terbaik, yang mereka katakan sebagai kesetaraan agama. Yang biasa kita kenal dengan Pluralisme.
III. PENUTUP
Barat memiliki trauma terhadap agama. Dalam masa kegelapan Eropa, Sains yang bertentangan dengan doktrin ataupun ajaran Gereja akan ditolak dan ilmuwan yang bersangkutan akan dihukum mati, sejak saat itu di barat mulai berkembang ideologi serta pemikiran-pemikiran tentang Naturalisme, materialisme, Rasionalisme, Empirisme, Sekularisme, dan paham serta pandangan yang lainnya[7]. Melalui pemikiran tersebut maka Barat memandang agama atau sistem kepercayaan sebagai sesuatu yang irasional dan tidak ilmiah.
Namun, sejarah mencatat ketika barat dalam masa kegelapan, para ilmuwan muslim mampu mengembangkan berbagai banyak ilmu pengetahuan seperti astronomi, geologi, biologi, kedokteran, aljabar atau matematika serta ilmu-ilmu yang lainnya. Semuanya menunjukkan bahwa keyakinan atau agama mempengaruhi pola fikir dan cara pandang kepada para ilmuwan tersebut dalam mencari dan mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan atau sains. Islam pada masa itu yang begitu maju dengan peradabannya tidak bisa terlepas dari khazanah serta tradisi keilmuan Islam seperti Fiqh, Kalam, Tasawwuf dan Mantiq. Peradaban Barat Modern yang berkembang sampai saat ini pun tak lepas dari usaha mereka dalam menerjemahkan berbagai karya yang dikembangkan ilmuwan muslim. Ironisnya, ketika ilmu telah mereka dapatkan, mereka menganggap agama sebagai benalu dan candu.
Sebagaimana halnya dalam paham Humanisme dan Eksistensialisme, manusia cenderung mendewakan dirinya.
Sementara Problem Kejahatan adalah sebuah hak akal dalam memilih baik dan buruk, dimana setiap individu dalam menilai baik dan buruk itu tidaklah semuanya sama. namun Allah yang memegang kuasa mutlak atas kebenaran itu, menciptakan alam semesta ini dengan menciptakan pula hukum Alam. sehingga setiap pilihan manusia pasti ada konsekuensinya.
Al-qura’an menjawab problem ini sebagai suatu proses pertaubatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti halnya sabda Rasul SAW “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian tidak pernah berbuat dosa, niscaya Allah akan mengganti kalian dengan mendatangkan suatu kaum yang kemudian kaum tersebut berbuat dosa, kemudian mereka meminta ampun kepada Allah, dan Allah akan mengampuni mereka” (HR. Muslim).
Rasulullah SAW bersabda “Setiap anak Adam pasti sering melakukan dosa dan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang rajin bertaubat”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, hasan)
Tapi jangan lupa, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Keras Siksaannya dan (ketahuilah) bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah : 98)
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dinukum wa liya diin). Tapi solusi yang ditawarkan paham pluralisme agama lebh cenderung menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar.
Muhammad Khafadho
[1] Ibn Rusyd Tahafut al-Tahafut, (Kairo: Dảr al-Ma’arif, 1971) 3 Nicola Abbagnano, “Humanisme” dalam, The Ecylopedia of philosophy dari Filsafat Agama oleh Amsal Bakhtiar
[2] Nicola Abbagnano, “Humanisme” dalam, The Ecylopedia of philosophy dari Filsafat Agama oleh Amsal Bakhtiar
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/eksistensialisme
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran Dan Kepercayaan Manusia. Hal.148
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran Dan Kepercayaan Manusia. Hal.160
[6] Syamsul Arifin makalah Kontruksi Wacana Pluralisme Agama di Indonesia , Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang
[7] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisme Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies, 2007) hal. 10-11
Keraguan adalah pembahasan yang telah ada sejak awal sejarah filsafat Barat. Ia muncul ketika banyak pertentangan. Pada awalnya ia dilawan, di pertengahan ia di kompromikan, dan kini dibiarkan menjadi bagian dari narasi-narasi yang ada. Keraguan didefinisikan sebagai ketidakpastian tentang kebenaran sesuatu; mempersoalkan kebenaran suatu gagasan atau menganggapnya dapat dipersoalkan; condong akan kesalahan suatu pernyataan; kebimbangan antara ya atau tidak, antara pendapat yang bertentangan, tanpa menyetujui yang satu atau yang lainnya.
Keraguan Terhadap Agama muncul karena banyaknya agama yang ada di dalam masyarakat, dan masing –masing agama memiliki doktrin yang saling mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar. Doktrin antar agama itu saling serang di dalam masyarakat, bahkan pertentangan antara ajaran agama dengan budaya-budaya lain juga sering terjadi. Kondisi ketika pertentangan-pertentangan itu tidak dapat di damaikan, lalu kebenaran dan kesalahan tidak terlalu menjadi perhatian, karena masing-masing disokong dengan argumentasi-argumentasi yang dianggap sama kuat maka akan menimbulkan kebenaran itu menjadi bias. Pertemuan antara ajaran agama dan cabang-cabang ilmu lain, pembuktian secara ilmiah doktrin-doktrin agama dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern juga merupakan faktor kemunculan pandangan yang meragukan kebenaran agama. Padahal kita meyakini bahwa kebenaran agama mestinya yang bersifat absolut.
II. PEMBAHASAN
1. Naturalisme
Naturalisme berarti bahwa manusia adalah bagian dari alam dan alam itu sendiri adalah habitat manusia. Struktur manusia berasal dari alam, dan struktur yang dimaksud ialah jasmani, indera, dan berbagai keperluan dimana manusia tidak bisa memisahkan dirinya dari faktor-faktor natural atau mengabaikannya. Problem yang dihadapi oleh manusia modern, terutama oleh para ilmuwan adalah apakah agama bisa sejalan dengan teori-teori ilmiah ? sebab, ilmu menekankan pada pembahasan kepada alam fisik, sedangkan agama membahas hal di luar fisik. Ilmu menyelidiki natur sedangkan agama membahas supernatur. Ilmu tidak akan dapat tersusun kecuali atas dasar hukum alam yang tetap dan sistem yang sama. Ilmu mengkaji secara ilmiah hubungan sebab dengan akibat. Hubungan sebab dengan akibat adalah suatu hubungan yang tetap dan pasti.
Ibn Rusyd pernah mengemukakan bahwa hubungan sebab dan akibat adalah suatu hubungan yang tetap dan pasti karena tanpa kepastian hubungan sebab-akibat tidak akan ditemukan teori yang ilmiah. Selain itu jika semua benda tidak memiliki ciri tertentu, maka seseorang akan sulit memberikan definisi terhadap benda itu, seperti api sifatnya membakar. Kalau sifat-sifat membakar tidak ada pada api, maka api sâm dengan benda lain dan semua benda alam menjadi sama, padahal setiap benda memiliki ciri-ciri khusus[1]. Ilmu mempunyai konsep-konsep yang pasti tentang alam fisik, sementara agama juga memiliki doktrin-doktrin yang pasti tentang alam metafisik yang sulit di buktikan secara kasat mata. Sehingga dalam paham naturalisme tidak mengenal istilah Tuhan, mukjizat, surga, neraka dan do’a.
Ahli kedokteran prancis Claude Bernard, mengatakan bahwa syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan adalah dia harus memiliki pemikiran yang merdeka secara mutlak berdasarkan atas kesangsian filsafat.
2. Humanisme dan Eksistensialisme
Istilah Humanisme berasal dari humanitas, yang berarti pendidikan manusia. Humanisme menegaskan bahwa manusia adalah ukuran segalka sesuatu. Pico salah seorang tokoh humanisme berkata “ Manusia dianugrahi kebebasan memilih oleh Tuhan dan menjadikannya pusat perhatian dunia. Dengan posisi itu dia bebas memandang dan memilih yang terbaik. Lain halnya dengan Valla, salah seorang tokoih humanisme. Ia menolak superioritas agama atas manusia. Manusia berhak menjadi dirinya dan sekaligus menentukan nasibnya. Tujuan manusia adalah menikmati hidup dan bersenang-senang[2].
Humanisme dan eksistensialisme erat sekali hubungannya. Eksistensialisme adalah puncak dari perkembangan Humanisme. Eksistensialisme mengakui bahwa eksistensi mendahului esensi (hakikat). Eksistensialisme adalah paham yang berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar[3].
Manusia adalah individu yang bebas dan menghilangkan peranan Tuhan dalam kehidupannya. Eksistensialisme yang ekstrim tidak hanya sampai pada ketidakpercayaan kepada Tuhan, bahkan menyerang Tuhan. Nietzsche, salah seorang tokoh ekstensialisme, mengatakan bahwa Tuhan telah mati dan terkubur. Karena itu para penganut agama tak perlu takut akan dosa. Manusia bebas untuk menentukan nasibnya dan menjadi manusia super. Kebajikan yang utama adalah kekuatan, segala yang baik hárus kuat. Sebaliknya, yang lemah pasti buruk. Perang menurutnya adalah gejala yang wajar untuk menentukan siapa yang terkuat dảri berbagai bangsa[4].
Ada pun prinsip-prinsip dari humanisme adalah:
- Manusia adalah standar dan kriteria segala sesuatu.
- Penekanan secara berlebihan kepada kebebasan dan ikhtiar manusia akibat kebencian kepada intimidasi dan kediktatoran para penguasa abad pertengahan.
- Pengingkaran terhadap status para rohaniwan sebagai perantara antara Tuhan dan manusia.
- Penyerahan sepenuhnya kekuasaan untuk penentuan nasib
- Manusia adalah sentral alam semesta.
- Akal manusia sejajar dengan akal Tuhan.
- Penolakan sistem-sistem tertutup filsafat, prinsip dan keyakinan-keyakinan agama, serta argumentasi-argumentasi ekstraktif mengenai nilai-nilai kemanusiaan.
- Penolakan terhadap praktik-praktik asketisme, dan perhatian mesti dipusatkan kepada faktor jasmani dan kenikmatan-kenikmatan fisik.
- Akal manusia adalah pimpinan manusia, dan status agama sebagai komando harus ditiadakan.
11. Manusia adalah binatang politik.
12. Dunia politik harus diceraikan dari segala pandangan metafisik atau agama, dan manusia adalah aktor yang memiliki wewenang mutlak dalam dunia politik.
13. Aktualisasi diri, pemeliharan diri dan peningkatan diri mesti dipelajari dalam setiap individu.
14. Manusia adalah pencipta lingkungannya dan bukanlah hasil lingkungannya.
15. Manusia harus terkonsentrasi sepenuhnya kepada dirinya.
16. Kelayakan kepribadian setiap individu bisa terbentuk tanpa keimanan kepada Tuhan.
Ideologi-ideologi dibawah ini adalah ajaran-ajaran yang terbentuk berdasarkan paham humanisme:
- Komunisme, karena di dalam ideologi ini humanisme bisa menghapus keterasingan manusia dari dirinya akibat kepemilikan swasta dan sistem masyarakat kapitalisme.
- Pragmatisme, karena pandangan yang menjadikan manusia sebagai orientasi, menjadikan manusia sebagai kriteria segala sesuatu.
- Eksistensialisme yang telah memberikan argumentasi bahwa tidak ada satupun alam yang sebanding dengan alam subyektivitas manusia.
3. Problem Kejahatan
Adanya kejahatan di jagad raya merupakan problem yang tidak henti-hentinya diperdebatkan, terutama oleh agamawan dan ilmuwan. Mengapa kejahatan itu ada, padahal Tuhan pencipta, Maha Kuasa dan sumber kebaikan. Mungkin Tuhan berkehendak untuk menghilangkan kejahatan dan Dia tidak mampu; Atau Dia mampu tetapi tidak berkehendak; Atau Dia sebenarnya berkehendak tetapi tidak mampu. Jika Dia menghendaki tetapi tidak mampu berarti Dia lemah. Jika Dia mampu tetapi tidak berkehendak berarti Dia irihati. Jika Dia tidak mampu dan tidak mauberarti Dia lemah. Jika Dia berkehendak dan mampu, hal mana sesuai dengan sifat Tuhan maka dari manakah datangnya kejahatan itu, dan mengapa Dia tidak menghilangkannya.
Maka timbul suatu pertentangan dalam diri Tuhan, yaitu Tuhan sebagai sumber kebaikan dan sekaligus tuhan sebagai sumber kejahatan. Hal ini tidak benar secara logika. Susunan argumen atheis adalah,
- Jika Tuhan maha baik, tentu Dia akan membasmi kejahatan,
- Jika Tuhan maha kuasa, tentu Dia mampu menghancurkan kejahatan,
- Tapi kejahatan belum terhapus,
- Karena itu, Tuhan tidak ada.
Menurut Geddes MacGregor, kejahatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kebaikan yang lebih tinggi
Menurut Asy'ariah, keyakinan tentang segala sesuatu yang terjadi tidak lepas dari hikmah Tuhan. Karena keterbatasan manusia tidak mampu mnengetahui semua hikmah yang ada. Hanya sedikit yang diketahui sedangkan yang belum di ketahui sangat banyak. Ibaratnya seperti tukang kebun yang selalu memotong rumput tetapi tidak memotong tanamannya. Kalau dilihat dari aspek rumputnya tukang kebun tidak adil. Namun kalau di lihat keseluruhan, rumput memang seharusnya di potong agar kebun terlihat indah[5].
4. Pluralitas Agama
Keragaman agama merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Munculnya berbagai agama pada masa sebelumnya secara historis tidak bisa menghapus agama yang muncul pada masa sesudahnya, begitu juga sebaliknya. Fakta ini meniscayakan adanya suatu pengakuan terhadap keragaman keyakinan[6]. Namun setiap agama memiliki sistematika atau konstruksi berupa modus yang dikembangkan oleh seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang meniscayakan pada suatu modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang terdapat dalam doktrin agama bisa dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Namun, tradisi penafsiran yang terus berkembang pada semua agama terhadap kodifikasi firman Tuhan, tentu banyak menghadapi kesulitan aktualisasi ketika dijembati dengan penafsiran pemahaman manusia. Kemudian perbedaan pemahaman ini menghasilkan pluralitas dalam keyakinan atau pluralitas agama atau kemajemukan agama.
Konstruksi itu rupanya juga berpengaruh terhadap agama lain, katakanlah antara Islam dan Kristen, Budha dan Hindu, Hindu dan Islam, dan seterusnya. Dalam konstruksi selalu ada keinginan membandingkan antara agama sendiri dengan agama lain yang kemudian berujung pada suatu klaim kebenaran (truth claim) terhadap keunggulan dalam hal otentisitas. Mudah ditebak arah klaim kebenaran tersebut. Pasti mengarah pada agamanya sendiri. Jika semua agama mengklaim bahwa agamanya yang paling benar, maka akan timbul juga pertanyaan mana agama yang paling benar dari sekian agama yang ada? Apakah semua agama itu benar, atau semuanya tidak benar? Kalau semua agama menklaim agamanya yang paling benar, bagaimana mengetahui agama yang paling benar?
Di satu sisi, klaim kebenaran tersebut memperkokoh keyakinan seseorang terhadap doktrin agamanya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana status keberagamaan seseorang tanpa ditopang oleh suatu klaim. Namun, dilain pihak juga akan menimbulkan pertanyaan mana doktrin agama yang paling benar ? dari keterbatasan manusia untuk mengetahui agama yang paling benar diantara agama-agama yang ada, lahirlah sikap “terbaik” yang mentolerir semua agama yang ada. berpijak pada pemikiran bahwa semua agama adalah baik, seorang pemeluk agama tidak boleh meyakini bahwa agamanya adalah yang terbaik, tapi harus meyakini bahwa semua Agama adalah yang terbaik, yang mereka katakan sebagai kesetaraan agama. Yang biasa kita kenal dengan Pluralisme.
III. PENUTUP
Barat memiliki trauma terhadap agama. Dalam masa kegelapan Eropa, Sains yang bertentangan dengan doktrin ataupun ajaran Gereja akan ditolak dan ilmuwan yang bersangkutan akan dihukum mati, sejak saat itu di barat mulai berkembang ideologi serta pemikiran-pemikiran tentang Naturalisme, materialisme, Rasionalisme, Empirisme, Sekularisme, dan paham serta pandangan yang lainnya[7]. Melalui pemikiran tersebut maka Barat memandang agama atau sistem kepercayaan sebagai sesuatu yang irasional dan tidak ilmiah.
Namun, sejarah mencatat ketika barat dalam masa kegelapan, para ilmuwan muslim mampu mengembangkan berbagai banyak ilmu pengetahuan seperti astronomi, geologi, biologi, kedokteran, aljabar atau matematika serta ilmu-ilmu yang lainnya. Semuanya menunjukkan bahwa keyakinan atau agama mempengaruhi pola fikir dan cara pandang kepada para ilmuwan tersebut dalam mencari dan mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan atau sains. Islam pada masa itu yang begitu maju dengan peradabannya tidak bisa terlepas dari khazanah serta tradisi keilmuan Islam seperti Fiqh, Kalam, Tasawwuf dan Mantiq. Peradaban Barat Modern yang berkembang sampai saat ini pun tak lepas dari usaha mereka dalam menerjemahkan berbagai karya yang dikembangkan ilmuwan muslim. Ironisnya, ketika ilmu telah mereka dapatkan, mereka menganggap agama sebagai benalu dan candu.
Sebagaimana halnya dalam paham Humanisme dan Eksistensialisme, manusia cenderung mendewakan dirinya.
Sementara Problem Kejahatan adalah sebuah hak akal dalam memilih baik dan buruk, dimana setiap individu dalam menilai baik dan buruk itu tidaklah semuanya sama. namun Allah yang memegang kuasa mutlak atas kebenaran itu, menciptakan alam semesta ini dengan menciptakan pula hukum Alam. sehingga setiap pilihan manusia pasti ada konsekuensinya.
Al-qura’an menjawab problem ini sebagai suatu proses pertaubatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti halnya sabda Rasul SAW “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian tidak pernah berbuat dosa, niscaya Allah akan mengganti kalian dengan mendatangkan suatu kaum yang kemudian kaum tersebut berbuat dosa, kemudian mereka meminta ampun kepada Allah, dan Allah akan mengampuni mereka” (HR. Muslim).
Rasulullah SAW bersabda “Setiap anak Adam pasti sering melakukan dosa dan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang rajin bertaubat”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, hasan)
Tapi jangan lupa, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Keras Siksaannya dan (ketahuilah) bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah : 98)
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dinukum wa liya diin). Tapi solusi yang ditawarkan paham pluralisme agama lebh cenderung menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar.
Muhammad Khafadho
[1] Ibn Rusyd Tahafut al-Tahafut, (Kairo: Dảr al-Ma’arif, 1971) 3 Nicola Abbagnano, “Humanisme” dalam, The Ecylopedia of philosophy dari Filsafat Agama oleh Amsal Bakhtiar
[2] Nicola Abbagnano, “Humanisme” dalam, The Ecylopedia of philosophy dari Filsafat Agama oleh Amsal Bakhtiar
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/eksistensialisme
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran Dan Kepercayaan Manusia. Hal.148
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran Dan Kepercayaan Manusia. Hal.160
[6] Syamsul Arifin makalah Kontruksi Wacana Pluralisme Agama di Indonesia , Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang
[7] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisme Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies, 2007) hal. 10-11