DEMOKRASI YANG MENINDAS
M. Sidi Ritaudin
Abstrak
Indonesia
kini disebut-sebut sebagai salah satu Negara the third largest democracy in
the world, setelah India dan Amerika Serikat. Di sisi lain, Indonesia juga
sebagai Negara terbesar yang berpenduduk Muslim, yang sangat akomoda-tif
terhadap ideologi demokrasi tersebut, dengan harapan niali-nilai ajaran Islam
dapat teraplikasi dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Ironisnya, dengan
atas nama rakyat, justru dijadikan alat elit politik dan elit pemerintah
“menindas” rakyatnya, sehingga Indonesia baru lepas dari penjajah asing, tetapi
masih dijajah oleh kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan di segala bidang
dibanding dengan Negara-negara lain. Benarkah sistem demokrasi sesuai dengan
karakter bangsa, atau malah menjadi monster yang siap memporak potandakan
tatanan kehidupan NKRI.
Kata
Kunci : Demokrasi, Rakyat, Politik,
Pemerintah, Negara
Pendahuluan
Ada adagium
yang cukup dikenal oleh publik tentang demokrasi, yaitu “dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat”.[1] Namun demikian, cita-cita politik yang menginginkan
bentuk Negara demokrasi sering kali “jauh panggang dari api”, realitasnya
aspirasi rakyat tidak terakomodir dengan baik, meskipun sistemnya sudah
tersedia. Oleh karena itu ada sebahagian ahli pikir politik mengatakan bahwa
sebaik apa pun sistem yang dibangun, jika pelaksananya tidak memiliki
integritas dan komitmen, maka sia-sialah ekspektasi yang digayutkan pada sistem
tersebut, sehingga ada benarnya orang bijak mengatakan bahwa yang paling penting adalah The man
behind the gun. Bukan senjatanya atau sistemnya, tetapi bagaimana kualitas
sumber daya manusianya yang tersedia yang menjadi sumber politik.
Realitas
empiris berbicara bahwa partai-partai kontestan pemilu mencoba “membohongi”
para konstituennya dengan “mengobral” janji, senyatanya sudah sekian kali
pemilu, siapa pun pemenangnya, apa yang telah dijanjikan tidak kunjung terjelma.
Sebut saja janji akan memberantas korupsi, sudah 13 tahun era reformasi
berjalan, yang terjadi hanyalah era “repot nasi” bagi publik. Korupsi semakin
menjadi-jadi dari kelas tri (pungli di jalanan) hingga kelas kakap, seperti
pembobolan bank Century, BLBI, penggelapan pajak dan lain-lain. Dari berbagai
kasus ternyata yang paling dirugikan adalah rakyat. DPR yang konon akronim dari
Dewan Perwakilan Rakyat, pembela nasib rakyat, ternyata hanyalah representasi
dari partai politik, tidak pernah memperjuangkan nasib rakyat, yang ada adalah
mereka memperjuangkan partai, kelompok dan golongan mereka nafsi-nafsi, maka
tidak sedikit orang-orang tertindas dan termarginalkan berseloroh bahwa DPR
adalah akronim dari Dewan Penipu Rakyat.[2]
[1] Dalam bahasa Inggrisnya : government of the people,
government by people and government for people. Sebuah pemerintahan dalam
suatu Negara dikatakan demokratis mana kala ketiga unsur ini terpenuhi dan
dapat dijalankan atau ditegakkan dalam tata pemerintahan. Lihat, Abdul Rozak,
dkk (editor), Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, Masyarakat Madani, (Jakarta : Tim ICCE UIN Jakarta, 2005), h. 111.
[2] Ungkapan yang
tendensius dan emosional ini sering kali penulis dengar di acara “Bedah
Editorial” yang diselenggarakan oleh Metro TV setiap hari dari jam 07.00 s.d
08.00. Konon DPR itu dipilih melalui pemilu dalam kerangka mewakili mayoritas
rakyat yang ada di dapilnya masing-masing, karena tidak memuaskan dan tidak
aspiratif, sering kali dituduh (mungkin juga benar adanya), mereka yang duduk
di DPR tersebut dikatakan sebagai orang-orang munafik, sebab tidak jujur, tidak
amanah, khianat dan suka berbohong, dalam hal ini antara ucapan dan janji-janji
kampanye tidak sesuai dengan perbuatannya setelah terpilih.
Untuk mendapatkkan data lengkapnya, hubungi via SMS ke no 085658833991