Xhavadzo: Maret 2016

Minggu, 13 Maret 2016

DEMOKRASI YANG MENINDAS

 DEMOKRASI YANG MENINDAS
M. Sidi Ritaudin

Abstrak

Indonesia kini disebut-sebut sebagai salah satu Negara the third largest democracy in the world, setelah India dan Amerika Serikat. Di sisi lain, Indonesia juga sebagai Negara terbesar yang berpenduduk Muslim, yang sangat akomoda-tif terhadap ideologi demokrasi tersebut, dengan harapan niali-nilai ajaran Islam dapat teraplikasi dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Ironisnya, dengan atas nama rakyat, justru dijadikan alat elit politik dan elit pemerintah “menindas” rakyatnya, sehingga Indonesia baru lepas dari penjajah asing, tetapi masih dijajah oleh kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan di segala bidang dibanding dengan Negara-negara lain. Benarkah sistem demokrasi sesuai dengan karakter bangsa, atau malah menjadi monster yang siap memporak potandakan tatanan kehidupan NKRI.
Kata Kunci : Demokrasi, Rakyat, Politik, Pemerintah, Negara

Pendahuluan
Ada adagium yang cukup dikenal oleh publik tentang demokrasi, yaitu “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”.[1] Namun demikian, cita-cita politik yang menginginkan bentuk Negara demokrasi sering kali “jauh panggang dari api”, realitasnya aspirasi rakyat tidak terakomodir dengan baik, meskipun sistemnya sudah tersedia. Oleh karena itu ada sebahagian ahli pikir politik mengatakan bahwa sebaik apa pun sistem yang dibangun, jika pelaksananya tidak memiliki integritas dan komitmen, maka sia-sialah ekspektasi yang digayutkan pada sistem tersebut, sehingga ada benarnya orang bijak mengatakan bahwa yang paling penting adalah The man behind the gun. Bukan senjatanya atau sistemnya, tetapi bagaimana kualitas sumber daya manusianya yang tersedia yang menjadi sumber politik.
Realitas empiris berbicara bahwa partai-partai kontestan pemilu mencoba “membohongi” para konstituennya dengan “mengobral” janji, senyatanya sudah sekian kali pemilu, siapa pun pemenangnya, apa yang telah dijanjikan tidak kunjung terjelma. Sebut saja janji akan memberantas korupsi, sudah 13 tahun era reformasi berjalan, yang terjadi hanyalah era “repot nasi” bagi publik. Korupsi semakin menjadi-jadi dari kelas tri (pungli di jalanan) hingga kelas kakap, seperti pembobolan bank Century, BLBI, penggelapan pajak dan lain-lain. Dari berbagai kasus ternyata yang paling dirugikan adalah rakyat. DPR yang konon akronim dari Dewan Perwakilan Rakyat, pembela nasib rakyat, ternyata hanyalah representasi dari partai politik, tidak pernah memperjuangkan nasib rakyat, yang ada adalah mereka memperjuangkan partai, kelompok dan golongan mereka nafsi-nafsi, maka tidak sedikit orang-orang tertindas dan termarginalkan berseloroh bahwa DPR adalah akronim dari Dewan Penipu Rakyat.[2]



[1] Dalam bahasa Inggrisnya : government of the people, government by people and government for people. Sebuah pemerintahan dalam suatu Negara dikatakan demokratis mana kala ketiga unsur ini terpenuhi dan dapat dijalankan atau ditegakkan dalam tata pemerintahan. Lihat, Abdul Rozak, dkk (editor), Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, (Jakarta : Tim ICCE UIN Jakarta, 2005), h. 111.
[2] Ungkapan yang tendensius dan emosional ini sering kali penulis dengar di acara “Bedah Editorial” yang diselenggarakan oleh Metro TV setiap hari dari jam 07.00 s.d 08.00. Konon DPR itu dipilih melalui pemilu dalam kerangka mewakili mayoritas rakyat yang ada di dapilnya masing-masing, karena tidak memuaskan dan tidak aspiratif, sering kali dituduh (mungkin juga benar adanya), mereka yang duduk di DPR tersebut dikatakan sebagai orang-orang munafik, sebab tidak jujur, tidak amanah, khianat dan suka berbohong, dalam hal ini antara ucapan dan janji-janji kampanye tidak sesuai dengan perbuatannya setelah terpilih.





Untuk mendapatkkan data lengkapnya, hubungi via SMS ke no 085658833991