Rokok. Barang ini, di satu sisi merugikan kesehatan, tapi
disisi lain rokok merupakan penyumbang terbesar keuangan negara. Bahkan fatwa
haram rokok banyak ditentang oleh berbagai pihak termasuk juga oleh para ulama
yang disegani menjadi perokok berat. (sebagian kiyai memang kecanduan rokok).
Saya tidak akan membahasnya dalam ranah halal atau haramnya rokok, karena itu
bukan ranah saya. Secara umum, masyarakat tahu bahayanya merokok. Bahkan
sebagian perokok juga tahu bahwa merokok itu merusak kesehatan, dan sebagian
perokok beranggapan merokok tidak merusak kesehatan.
Umumnya para perokok tidak bisa berhenti dari merokok karena
berbagai alasan, mulai merasa pahit jika tidak merokok, tidak pas jika habis
makan tidak merokok, sebagai penenang dikala stres, dll. Intinya mereka sangat
tergantung dengan rokok, bahkan mereka rela tidak makan dan minum seharian asal
merokok. Lebih tepatnya mereka adalah pecandu rokok, atau mungkin lebih kasar
lagi “budak rokok”.
Manusia sebagai makhluk sosial, terlahir dalam fitrahnya
dengan hak yang ia dapatkan mulai dari hak untuk bernafas, hak makan dan minum,
hak memperoleh kasih sayang, hak memperoleh kehidupan yang layak. Kemudian
seiring bertambahnya usia bertambah pula hak-hak yang ia dapatkan mulai hak
memperoleh pendidikan, hak bersuara dan menyampaikan pendapat, hak berserikat
dan berkumpul, dll. Bahkan ketika dia mati pun, jasadnya mendapatkan hak untuk
dimakamkan secara layak.
Setiap manusia saling memenuhi haknya masing masing, oleh
karena itu agar tidak terjadi benturan antara manusia satu dengan manusia yang
lainnya dalam memenuhi haknya, perlu adanya tepo seliro, tenggang rasa, atau
lebih tepatnya Toleransi. Tanpa keberadaan hukum tertulispun nilai tenggang
rasa ini bisa kita rasakan dari hati nurani kita, kecuali jika hati nurani kita
sudah tertutup oleh kebiasaan buruk sehingga tidak peka terhadap kesalahan yang
dia lakukan. Sebagaimana kebiasaan perokok, mayoritas mereka tidak peduli
dengan kondisi sekitar, mereka adalah manusia yang egois. Bahkan dengan
keluarganya atau pada anaknya yang masih balita pun mereka masa bodoh terhadap
kesehatan anaknya. Mereka biarkan orang lain terpapar asap rokok sementara
mereka sendiri menikmatinya.
Bagi sebagian orang merokok adalah hak, boleh jadi itu benar.
Tapi yang pasti itu bukan hak asasi. Hak asasi adalah hak yang dibawa sejak dia
lahir, salah satu hak asasi yang dibawa sejak dia lahir adalah hak untuk bernafas,
hak untuk menghirup udara segar. Oleh karena itu perokok
mestinya menghargai hak non perokok yang terganggu oleh asap rokoknya. Para “budak
rokok” mestinya mereka tahu dimana mereka melampiaskan syahwatnya. Racun rokok tidak
hanya merusak paru-paru, tapi juga merusak akal sehat perokok sehingga menghilangkan
nalar kepedulian sosialnya.
Bukan hanya perokok berpendidikan rendah saja yang tidak
memiliki kepedulian, tapi juga perokok yang berpendidikan tinggi pun mereka
merokok sembarang tempat, di ruang ber-ac mereka merokok, padahal asap rokok
yang bercampur dengan zat pendingin AC (freon) akan menjadikan asap rokok
menjadi racun yang lebih mematikan. Dosen dengan percaya diri merokok saat mengajar
mahasiswa. Mahasiswanyapun yang merokok jadi lebih kurang ajar. Padahal mereka adalah orang yang secara keilmuan lebih dekat dalam mempelajari HAM dan Tolerasi, juga yang paling getol menyuarakan hak asasi manusia dan toleransi.
tapi, sungguh sangat idiot! bagaimana mungkin sebagian dari
mereka yang menyuarakan hak asasi dan toleransi itu adalah seorang perokok
sejati. Ya !!! idiot, memperjuangkan hak asasi dan menyuarakan toleransi, tapi
mereka sendiri melanggar hak asasi itu sendiri dan tidak memiliki toleransi.
Mungkin kita bisa memahami jika para perokok itu orang-orang
yang tidak terdidik yang hanya menyelesaikan pendidikan tingkat rendah. Wajar
jika mereka merokok di sembarang tempat, tidak punya etika atau adab yang
terbentuk dari jenjang pendidikan menengah ke atas. Mungkin, mereka tidak
mengenal istilah hak asasi dan toleransi, karena nilai tenggang rasa dan toleransi yang
diajarkan di sekolah dasar kurang diperhatikan. Namun, sungguh sangat idiot
jika para perokok yang berpendidikan menengah hingga atas tidak memiliki
toleransi sama sekali. Sungguh sangat tidak waras jika mereka yang
berpendidikan S1, S2 atau mungkin S3, atau bahkan seorang profesor sekalipun
kalau mereka masih merokok disembarang tempat, dimana nilai toleransi yang dia
pelajari dari pendidikan dasar? Dimana tanggung jawab keilmuan yang mereka
peroleh hingga saat ini?
Mungkin tulisan ini adalah salah satu tulisan yang melanggar
hak asasi para perokok, tapi itu masalah sudut pandang. Seperti halnya
menghukum mati pembunuh, mungkin itu melanggar hak hidup seseorang. Namun
dengan terbunuhnya satu orang pembunuh, hak hidup puluhan orang mungkin
terselamatkan. Maaf jika tulisan ini terlalu kasar, karena memang untuk
mengingatkan manusia di bawah standar idiot; seperti kerbau misalnya, dia harus
dilecut agar mau membajak.