Xhavadzo: Benturan Dua Pemikiran Dalam Islam

Jumat, 11 November 2016

Benturan Dua Pemikiran Dalam Islam


Sebagian isi skripsi yang belum jadi.

Dalam tulisan sebelumnya telah dibahas dua kelompok pemikiran dalam Islam tentang konsep negara Islam di masa kontemporer ini. Dalam sejarah, benturan pemikiran politik Islam sudah terjadi sejak awal peradaban Islam. Bermula dari persaingan antara dua kabilah Quraish yaitu Bani Hasyim yang menurunkan Bani Abbasiyah, dan Bani Abdus Syams yang menurunkan Bani Umayyah. Ketika khalifah Utsman mengangkat beberapa kerabat dalam pemerintahannya sehingga menumbuhkan kecemburuan disebagian ummat Islam ,dan beberapa isu yang disebar oleh Abdullah bin Saba’ tentang keharusan Ali bin Abu Thalib sebagai pewaris pemerintahan Islam setelah Rasulullah saw. Hingga terbunuhnya Khalifah Utsman ra.
Kemelutpun memuncak dalam perebutan kekuasaan setelah pengangkatan Khalifah Ali ra dengan Muawiyah bin Abu Sofyan dalam perang Shiffiin, meskipun akhirnya ada usaha untuk berdamai di kedua belah pihak dengan proses tahkim antara Khalifah Ali ra dan Muawiyah ra setelah terjadinya perseteruan politik. Namun perbedaan pendapat tentang tahkim bermunculan kemudian melebar ke masalah aqidah. Beberapa pandangan lahir ketika menafsirkan al-Quran dan al-Hadits dalam menyikapi peristiwa tahkim. Beragam pemikiranpun berkembang mewarnai khasanah keilmuan dalam sepanjang sejarah peradaban Islam hingga dewasa ini. Namun, tidak jarang benturan antar pemikiran sering diwarnai oleh konflik yang berkepanjangan hingga saat ini, seperti halnya konflik Sunni – Syi’ah.Dimasa modern ini dinamika pemikiran Islam semakin kompleks seiring dengan persinggungan Islam dengan berbagai macam budaya, khususnya pemikiran yang lahir dari budaya barat, seperti liberalisme sekuler dan komunisme atheisme. Kedua paham ini saling mempengaruhi dan bersaing untuk mendominasi dunia. Komunisme-atheis memiliki banyak kesulitan untuk bisa berkolaborasi dengan Islam dari pada paham liberalisme-sekuler yang lebih elegan dalam mempengaruhi pemikiran Islam. Pemikiran Islam masih bisa duduk bersama dengan liberalisme-sekuler karena masih mengakui keberadaan tuhan, hal ini berbeda dengan komunisme-atheis yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Sehingga kolaborasi antara Islam dengan liberalisme-sekuler ini melahirkan perpaduan pemikiran yang jauh berbeda dengan tradisi keilmuan Islam sebelumnya, sehingga islam liberal memiliki karakteristik pemikiran yang yang unik dan khas. Tapi, Problem krusialnya ada dalam bagaimana Islam liberal ini menafsirkan al-Qur’an dan al-Hadits dalam tafsiran bebas yang keluar dari kaidah tafsir dalam Islam sebelumnya.
 liberal sekuler ini IslamIslamIslam. Berkenaan dengan masalah ini, Quraish Shihab menuliskan pendapat gurunya ketika belajar di Mesir ;
Ide ini masuk pada pemikiran sebagian cendekiawan kita saat dan setelah berlangsungnya konflik yang berkepanjangan selama bertahun tahun antara sains dengan gereja, atau dengan kata lain antara ilmuwan versus agamawan di Eropa. Sebab pokoknya adalah gereja saat itu mengklaim bahwa agama dan ilmu pengetahuan berada dalam wewenangnya. Karena itu setiap orang yang yang mengemukakan pandangan-pandangan agama atau ilmiah yang tidak sejalan dengan penafsiran gereja, maka mereka itu dikecam, bahkan dituduh memberontak dan murtad.[1]
Sedangkan Islamperbedaan pemikiran antara kaum intelektual dengan para fuqoha tidak sampai pada konflik berdarah-darah. Islam IslamIslam memberikan kebebasan kepada akal untuk berfikir, sehingga tidak ada seorang ulama’ yang melakukan pembantaian terhadap ummatnya karena perbedaan pemahaman Islam. Islammeraih  meskipun diwarnai dinamika politik yang komplek disetiap generasi.
yang dikorelasikan IslamIslamIslamIslamIslamIslamIslamLiberalisme dan sIslam. Perpaduan antara pemikiran liberalisme-sekuler dengan Islam, melahirkan pemikiran yang bebas dari kaidah-kaidah atau metode ijtihad yang sudah dirumuskan oleh ulama terdahulu. Penerimaan liberalisasi pemikiran dalam Islam tentu saja berdampak pada penafsiran sumber pokok ajaran Islam itu sendiri dalam menghadapa problem kontemporer, sehingga melahirkan sebuah penafsiran yang liberal atas al-Quran dan al-Hadits seperti yang dilakukan oleh M. Shahrur, yang melakukan pembaharuan terhadap ayat-ayat hukum dengan mengesampingkan wahyu dan menjunjung superioritas akal atas wahyu.[2] Seyyed Hossein Nasr, mengemukakakan konsep Abraham Faits yang didukung oleh para pengusung paham Pluralisme, ia mempopulerkan gagasan Transendent Unity of Religions (kesatuan transenden agama-agama).[3] Hamid abu Zaid, mengembangkan teori tentang teks al-Qur’an yang dikaitkan dengan bahasa dan budaya, yaitu dengan menghilangkan dimensi ilahiyah teks al-Qur’an tersebut.[4] Muhammad Arkoun dengan kritik nalar Islamnya ia berargumen bahwa nalar Islam yang saat ini mendominasi ummat Islam, dibangun oleh para alim ulama atas dasar interpretasi doktriner dan kebutuhan politis untuk mengontrol penafsiran atas wahyu dan maknanya.[5] Dalam pandangan Islam fundamental penafsiran al-Qur’an yang bebas liberal dengan mengesampingkan tradisi ilmu tafsir al-Qur’an mainstreem, menyamakan al-Quran dengan tulisan-tulisan biasa pada umumnya, akan mengurangi kesucian dari al-qur’an itu sendiri.
Akibatnya muncul penolakan terhadap pemikiran liberal-sekuler ini sebagai prinsip dasar demokrasi. Dalam wacana politik nasional pasca kemerdekaan di Indonesia, Negara IslamIslam menjadi perdebatan yang sangat panjang oleh para founding father negara ini yang mewakili sebagian umat IslamIslam, dimana secara politis berjuang mendirikan Negara IslamIslam dan menganggap demokrasi liberal sangat lemah dan bersifat kompromis, suatu konsep yang hanya relevan bagi masyarakat sekuler (yang terbaratkan), yang dianggap sangat kurang sempurna secara moral dan tidak dapat diterima.[6] Perdebatan ini terlihat jelas dalam proses perumusan konstitusi Negara Indonesia pada waktu itu.
Akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945 lahirlah Piagam Jakarta sebagai sebuah kesepakatan bersama. Menurut Abdul Haris Nasution, menceritakan bahwa penyususnan Piagam Jakarta tidak lepas dari adanya 52.000 surat yang dikirimkan oleh para ulama se-Indonesia ke Djawa Hokokai. Panitia Sembilan yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang menandatangani racangan Undang-Undang Dasar negara RI, yang terdiri dari 9 orang yaitu; Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, dan A.A. Maramis, [7]
Tapi, kesepakatan ini tidak bertahan lama, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, terjadilah sandiwara penghapusan tujuh kata dalam sila pertama yang sangat kontroversial. Perubahan ini memunculkan berbagai reaksi keras dari kelompok Islam. Perbedaan tentang ideologi negara dan bentuk negara menjadi perdebatan yang sangat krusial dalam parlemen. Salah satu tokoh Islam yang begitu tegas mempertahankan ide kesatuan agama dengan negara adalah Mohammad Natsir, beliau berpendapat bahwa;
Islam datang membawa beberapa aturan tertentu untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur (peny; makmur), dan boleh menjadi wasilah (sarana) yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun didalam negara itu, untuk keselamatan diri dan masyarakat, untuk kesentosaan perseorangan dan untuk kesentosaan umum.[8]
Selama masa orde lama dan orde baru, Pancasila hanya digunakan sebagai alat legitimasi bagi penguasa untuk menekan kelompok IslamIslam. Pancasila ditafsirkan secara sekular dan dimonopoli maknanya oleh penguasa untuk kemudian digunakan sebagai alat politik menumpas aspirasi IslamIslam[9]. Menurut Robertus Robet :
Di masa Orde Baru, Pancasila dan persatuan Indonesia melahirkan represi dan ancaman yang berimplikasi pada distorsi kebajikan luhur (noble virtue) Pancasila. Persatuan yang mengandaikan perbedaan dan demokrasi diubah lebih sebagai persatuan berdasarkan kehendak yang terpusat pada sistem kekuasaan. Akibatnya, Pancasila berubah: bukan lagi sign of unity melainkan sign of authority (simbol kekuasaan).[10]
Pancasila sebagai ideologi politik yang dalam kelahirannya tidak bisa dipisahkan dari pemahaman ummat Islam yang dinamis, dikemudian hari justru menjadi bumerang bagi Islam Politik. Ketika ajaran-ajaran dan doktrin Pancasila ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa sebagai dasar pembenaran kekuasaannya. Pancasila dijadikan sebagai sistem kepercayaan yang akan dapat memperkokoh kedudukan penguasa atau golongannya. Yang lebih menyedihkan lagi, IslamIslam politik seringkali menjadi sasaran tembak ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi negara Pancasila. Menurut Robert A. Dahl yang di kutip oleh Soerjono Soekanto ;
Penguasa-penguasa dalam masyarakat, biasanya mengemukakan serangkaian ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin, yang bertujuan untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaannya. Hal itu dilakukan supaya kekuasaan dapat menjelma menjadi wewenang. Setiap penguasa akan berusaha untuk dapat menerangkan ideologinya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga institutionalized dan bahkan internalized dalam diri warga masyarakat.[11]
Dalam masa Orde Lama, tokoh Islam seperti Moehammad Roem, Ki Bagus Hadikoesoemo, Prof. Kasman Singodimedjo. Deliar Noer, Melakukan kritik perlawan ideologis ketika Pancasila ditafsirkan ke arah sekuler atau bahkan ke arah komunis. Ide NASAKOM mendapat tantangan keras dari sebagian ummat Islam yang digerakkan oleh partai MASYUMI (Masjelis Syuro Muslimin Indonesia). Masyumi sebagai partai yang gigih menyampaikan aspirasi umat Islam akhirnya dibubarkan oleh Soekarno. Hingga dalam perjalanannya, pertarungan indeologis ini tidak hanya dalam perang pemikiran, tetapi ada sekelompok Islam yang melakukan perlawanan senjata pasca kemerdekaan yang berusaha mendirikan negara Islam dan menerapkan syariat Islam. Seperti yang dilakukan oleh S.M. Kartosuwiryo dengan pasukannya DI / TII. Hingga sampai S.M. Kartosuwiryo dieksekusi mati oleh sahabat seperguruannya sendiri yaitu Soekarno pada tahun 1962.
Setelah tahun 1960 mulai bersemi ide Pembaharuan Pemikiran Islam yang dipelopori oleh Nurcholis Madjid sebagai ketua HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pada waktu itu secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam dan Juga proses Liberalisasi.[12] Sebagai suatu ide baru untuk menjembatani antara “Islam” dan “sekularisme”. Akan tetapi Ide ini mendapat tantangan keras dan kritik pemikiran dari HM Rasjidi di era tahun 1970-an. Sedangkan di tahun 1990-an  Endang Syaifudin Anshari mengkritik ide Nurcholis Madjid yang di kutip oleh Abdul Qadir Djaelani ;
Berbicara tentang sekularisasi mau tidak mau mesti mengacu pada sekulerisme. Historis sekulerisme timbul di Barat sebagai reaksi terhadap Kristenisme pada akhir abad pertengahan. Sekulerisme adalah paham yang menyingkirkan nilai-nilai Illahi (agama wahyu) dalam persoalan dunia, negara, dan masyarakat.[13]
Kemudian di masa Orde Baru Ide sekularisasi Nurcholis Madjid semakin berkembang didukung dengan pemerintah Soeharto yang gencar-gencarnya melakukan sekularisasi dan depolitisasi Islam. Dan didukung pula oleh peran lembaga CSIS (Center for Strategic and International Studies) sebagai lembaga think tank yang memiliki peran penting dalam pemerintah Soeharto. Lembaga ini didirikan oleh Ali Moertopo pada tahun 1970.
Salah satu strategi yang berhasil dilakukan oleh lembaga CSIS adalah pelarangan PKI, sebagai bentuk upaya penyelewengan Pancasila ke arah Marxisme-Leninnisme dan Komunisme. Begitu juga menghalau pancasila ke arah Islam, dengan memasukkan Piagam Jakarta sebagai dokumen Hukum.[14] Kemudian lahirnya ide asas tunggal Pancasila, yang menjadi alat legitimasi negara untuk menekan kelompok Islam politik. NU dengan berat hati menerima asas tunggal pancasila, namun tidak sedikit umat Islam yang menolak.
Asas tunggal Pancasila ini mendapat perlawanan keras dari sebagian ummat Islam bahkan menggema di masjid-masjid. BABINSA menjadi alat intelijen pemerintah untuk mengintai kegiatan ummat Islam. Puncaknya, meletuslah tragedi tanjung Priok tahun 1984 yang menjadi catatan kelam ummat Islam di masa Rezim Soeharto.[15] Sehingga permasalahan ideologi Pancasila ini semakin meruncing di kalangan umat Islam. Dengan menyebut Pancasila sebagai Thoghut yang harus di lawan.
Moehammad Natsir sebagai mantan perdana menteri pertama Indonesia, beliau adalah pencetus Mosi Integral Natsir, yang merubah Republik Indonesia Serikat (RIS), menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beliau mengkritik Asas Tunggal Orde Baru pada tanggal 1 Maret 1985, yang berjudul Tepatkan Kembali Pancasila Pada Kedudukannya Yang Konstitusional, beliau berpendapat bahwa; gagasan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua kekuatan sosial politik, berarti merubah makna dan fungsi Pancasila yang sebenarnya.[16] Peringatan keras yang disampaikan Natsir dan Deliar Noer kepada pemerintah Orde Baru ini berakibat pencekalan dan dicap sebagai “Pembangkang”. Karena menentang ideologisasi Pancasila dan Pengeramatan Pancasila.
Setelah masa reformasi kritik terhadap pemikiran Liberalisme sekuler ini terus berlanjut tepatnya pada tahun 2000 oleh Adnin Armas dan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, dan sebagainya. Yang tergabung dalam INSISTS (Institut for the Study of Islam Thought And Civilizations) yang memiliki akar tradisi kuat dengan gagasan-gagasan pemikir Islam Indonesia masa lalu seperti KH Hasyim Asy’ari, H. Agus Salim, Hamka, Mohammad Natsir, Prof. Kasman Singod                                                                                                        
Islamdewasa ini IslamIslamIslamIslamSementara al-Qaida yang dipimpin oleh Osama bin Laden tidak pernah mengakui bahwa pihaknya yang menjadi dalang atau pelaku utama dalam tragedi WTC 2001. Namun,tetap  tanpa dukungan dari Negara-negara dalam Dewan Keamanan PBBTindakan Amerika yang di aminkan negara barat lainnya (termasuk Rusia) terhadap sejumlah negara muslim dimana mereka ingin berdaulat , dengan caranya sendiri dilakukan tindakan secara sepihak, ini terjadi atas pemerintahan Taliban di Afghanistan, Libya, Irak, Iran, serta Rakyat Palestina dan sejumlah gerakan Islam yang menuntut kemerdekaan seperti kelompok pejuang Hamas, kelompok pejuang Checnya di Rusia, Moro di Filipina, Pathani di Thailand selatan. Semua ini menunjukkan kenyataan bahwa akan ada pertentangan yang tidak akan pernah selesai antara Barat dan Islam, selama ketidakadilan itu berlangsung.[17]
Di beberapa negara Amerika melakukan Economic Hit Man (EHM) sebagai usaha mengeruk sumberdaya alam dan menghancurkan negara lain. Bahkan jika hal itu tidak berhasil maka dilakukan oprasi the Jackals (kumpulan srigala) dalam hal ini CIA untuk melakukan sampai tahap tindakan assassination (pembunuhan) atau menggoyang pemerintahan seperti yang terjadi di Ekuador. Jika belum berhasil seperti halnya yang terjadi pada Saddam Husain dan Osama bin Laden yang tak mampu dibunuh oleh the jackals yang terjadi adalah dengan penyerangan wilayah secara militer.[18] Selain itu Amerika menggelontorkan dana besar untuk diberikan kepada lembaga-lembaga NGO (Non Govermental Organization) atau LSM dalam upaya mempertahankan pengaruhnya terhadap negara-negara lain. Keberadaan lembaga non pemerintah tersebut juga sebagai pion dalam proxy war yang didukung juga dengan media masa sebagai pembentuk opini publik. Menurut Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI, Agus Sutomo, S.E ;
Proxy war tidak melalui kekuatan militer, tetapi perang melalui berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik melalui politik, melalui ekonomi, sosial budaya, termasuk hukum. Dalam proxy war, tidak bisa terlihat siapa lawan dan siapa kawan. “Dilakukan non state actor, tetapi dikendalikan pasti oleh sebuah negara,” Indikasi proxy war di Indonesia, antara lain adalah gerakan separatis dan gerakan radikal kanan/kiri, demonstrasi massa anarkis, sistem regulasi dan perdagangan yang merugikan, peredaran narkoba, pemberitaan media yang provokatif, tawuran pelajar, bentrok antar kelompok, serta penyebaran pornografi, seks bebas, dan gerakan LGBT. [19]
Indonesia sebagai masyarakat majemuk sangat mungkin menjadi arena benturan pemikiran antar ideologi yang mewakili beberapa negara besar di dunia. Barat sebagai induk dari ideologi demokrasi liberal ikut andil dalam perebutan pengaruhnya di Indonesia. Melalui beberapa NGO (non goverment organization) yang ada di dalam negeri untuk melakukan propaganda terhadap masyarakat Indonesia agar tidak terpengaruh oleh kelompok-kelompok Islam fundamental yang mungkin mengancam kepentingan Barat atau AS di Indonesia. Agenda Barat ini didukung oleh kelompok Islam liberal yang memiliki kecenderungan mendukung dominasi barat terhadap negeri-negeri Islam. dukungan ini diberikan atas kesamaan ideologis untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, yang menjunjung tinggi nilai-nilai liberalisme, HAM, Toleransi dan Pluralisme.
Selain itu, Barat dan Islam liberal kaitanya dalam penegakan syariat IslamIslam oleh Negara, Menurut Farag Fouda seorang pemikir Islamliberal mesir, ia menyatakan bahwa,
Syariat Islam sendiri tidak akan berwujud dan terejawantah kecuali di dalam masyarakat yang benar-benar Islami. Atau dalam makna yang lebih dalam, dalam negara agama. Namun negara seperti ini tetap membutuhkan agenda politik yang mampu mengemukakan perincian dan pendasaran terhadap sesuatu yang masih umum atau pun terlalu khusus. Mereka pasti akan kesulitan untuk menyiapkan agenda seperti ini, apalagi mengemukakannya kepada anda. Mereka sebetulnya hanya ingin lari dari kenyataan dengan cara menyeru kita untuk menerapkan syariat IslamIslam yang hanya akan membawa kita kepada negara agama yang teokratis. Negara seperti ini hanya akan membuat kita limbung untuk bergerak ke kanan atau ke kiri, tanpa adanya mercusuar yang akan memandu kita dengan gagasan-gagasan dan ijtihad yang mencerahkan. Kita hanya diajak pasrah menerima apa yang akan terjadi. Terserahlah apa yang akan terjadi pada IslamIslam. Kita hanya menyerahkan jasad kita untuk mereka injak.[20]Dalam formalisasi Syariat Islam, Gus Dur juga menolak ideologisasi Islam. Bagi Gus Dur sebagai tokoh yang lahir dari tradisionalis Nahdliyin tapi memiliki pemahaman Islam yang moderat, meskipun juga ada beberapa kalangan yang menyebutnya sebagai golongan Islam liberal, karena memiliki kedekatan dan persamaan pemikiran dengan kelompok liberal di Indonesia, beliau berpendapat bahwa:
Ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan “negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di Indonesia, menurut Gus Dur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Juga langkah-langkah sejumlah pemerintah daerah dan DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari’at Islam”. Menurut Gus Dur, upaya-upaya untuk “meng-Islamkan” dasar negara dan “men-syari’atkan” peraturan-peraturan daerah itu bukan saja a-historis, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Mengutip pendapat mantan Hakim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya syari’atisasi semacam itu menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan).[21]
Penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang negara Islam. Seperti sudah sering dinyatakannya, Gus Dur secara tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini idasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Gus Dur mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan sia-sia makhluk yang bernama negara Islam itu. “Sampai hari ini belum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada kesimpulan bahwa Islam memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana negara dibuat dan dipertahankan”.[22]
Sebenarnya sekularisme itu adalah pemisahan secara relatif antara agama dan negara. Agama dan negara itu merupakan dua pilar yang dapat mewujudkan toleransi dalam masyarakat. Agama bisa memberikan nilai kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi lebih toleran. Sementara tugas negara adalah memberikan perlindungan kebebasan beragama. Hanya negaralah yang bisa memberikan perlindungan itu secara efektif. Dan itu ditegaskan oleh konstitusi. Karena itu sekularisme berusaha agar jangan sampai dua kekuatan (negara dan agama) berkolaborasi—menjadi “negara agama” atau “agama negara”. Karena risikonya akan sangat tinggi. Di satu pihak negara mempunyai kekuasaan melalui segala aparatusnya; di lain pihak agama juga mempunyai suatu kekuasaan, melalui doktrin-doktrinnya yang otoritatif. Kalau dua kekuatan ini berintegrasi, maka akan menimbulkan kekuasaan otoritarian yang sangat kuat, yang dalam sejarah pernah menimbulkan pengalaman traumatis seperti yang terjadi di Eropa, yaitu penindasan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.[23]
Pemisahan antara agama dan politik dalam sekularisasi berkait erat dengan pemisahan antara ruang privat dan publik dalam liberalisme, yang menjunjung tinggi kebebasan individu, kebebasan politik dalam partisipasi demokratis, kesamaan antar manusia, dan pluralisme. Dalam konteks pluralisme, liberalisme dikaitkan dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan menganut bentuk-bentuk kehidupan tertentu. Liberalisme pun menegaskan: setiap pengambilan kebijakan publik harus dipisahkan antara problem-problem yang menyangkut publik secara luas (tanpa membedakan agama, etnisitas, dan orientasi politik) dengan bentuk-bentuk kehidupan spesifik. Itulah yang disebut sebagai the problem of justice. Maka, model ideal yang lebih tepat untuk Indonesia adalah masyarakat demokratis, pluralistik, dan multikultural yang diwadahi oleh budaya Islam yang moderat, liberal, dan toleran.
Penerapan sistem politik demokrasi pada negara yang mayoritas muslim menjadi diskusi panas yang tak pernah usai dalam diri Islam fundamental ataupun antara Islam fundamental dengan Islam liberal.
Revivalisme Islam yang dikemukakan R. Hrair Dekmejian untuk memotret gerakan kebangkitan Islam kontemporer. Sebagaimana konsep yang diutarakannya, revivalisme Islam sangat tidak seragam, tidak tunggal dan bertingkat-tingkat. Revivalisme Islam meliputi gerakan Islam dari yang a-politis hingga yang politis, dari yang berfaham teologi moderat hingga yang radikal.[24]
Namun secara umum kelompok Islam fundamental sering dinisbatkan kepada gerakan kebangkitan Islam. Untuk lebih mudahnya kita bisa melihat bagan dari beberapa kelompok pemikiran dalam menyikapi demokrasi menurut Samuel P. Hautington dalam bukunya yang berjudul Gelombang Demokratisasi Ketiga, yang terbit pertama kali pada tahun 1991, dijabarkan ada beberapa kelompok sikap terhadap demokrasi, salah satu yang menentang adalah kelompok Fundamental, Ekstrimis, Radikal ;
Sikap Terhadap Demokrasi [25]


Menentang
Mendukung
Menentang

Pemerintah
Konservatif
Kelompok pembaharu
Demokratis Liberal

Oposisi


Fundamental, Ekstrimis
Radikal

Kelompok Islam Liberal selalu berada pada posisi mendukung demokrasi, sistem politik demokrasi merupakan suatu bentuk sistem politik modern yang didalamnya terkandung nilai-nilai toleransi, hak asasi manusia, pluralisme, egaliterianisme, sekulerisme dan kebebasan. Adalah sebuah nilai pokok untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban. Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktifitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara seperti diakui oleh Moh. Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia:
Ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai sebuah sistem yang fundamental; kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Secara bahasa demokrasi berasal dari kata demos-cratein atau demos-cratos adalah keadaan negara dimana di dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat.[26]
Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal: pertama, pemerintahan dari rakyat (goverment of the people); kedua pemerintahan oleh rakyat (goverment by people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat (goverment for people). Jadi hakikat pemerintahan yang demokratis bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan.[27]
Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan mayoritas rakyat. Pemerintahan dari rakyat artinya adalah pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate goverment) dimata rakyat, pemerintahan yang mendapat pengakuan dan didukung oleh rakyat. Legitimasi bagi suatu pemerintahan sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.[28] Oleh karena itu, patisipasi politik warga negara sangat penting dalam negara demokrasi. Sehingga diharapkan akan menghasilkan hukum, undang-undang dan kebijakan sesuai kehendak mayoritas rakyatnya.
Demokrasi, sudah menjadi sistem politik yang dikenal sebagai sistem politik modern dan diterapkan diberbagai negara. Namun penerapan demokrasi diberbagai negara tidaklah sama. Penerapan demokrasi diberbagai negara disesuaikan dengan kultur politik yang sudah ada. Sehingga melahirkan kombinasi sistem politik demokrasi yang variatif.
Demokrasi di Indonesia yang mayoritas Muslim memiliki sistem politik presidensial yang mirip dengan sistem politik presidensial di AS. Salah satu perbedaanya adalah AS Menganut trias politika murni (pemisahan kekuasaan) dan Presiden dipilih oleh badan pemilih (electoral college). Sedangkan di Indonesia menganut asas trias politika modifikasi (pembagian kekuasaan) dan Presiden dipilih oleh rakyat lewat pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam penerapan sistem politik demokrasi diberbagai negara. Karena, penerapan demokrasi yang disesuaikan dengan kultur politik yang sudah ada. Lahirlah berbagai kombinasi sistem politik demokrasi yang variatif hasil perpaduan dengan sistem politik yang sudah ada. Akan tetapi dalam banyak negara Islam, demokrasi tidak mudah untuk diterima begitu saja. Penerapan sitem demokrasi di Indonesia bukan tanpa halangan. Pertentangan tajam antara yang menerima dengan yang menolak demokrasi mewarnai wacana pemikiran politik Indonesia pada akhir dasawarsa ini.
Sekarang saya beralih kepada realitas politik Indonesia kontemporer. Yang menjadi burning issues dalam kaitannya dengan masalah politik identitas sejak 11 tahun terakhir ialah munculnya gerakan-gerakan radikal atau setengah radikal yang berbaju Islam di Indonesia. Sebagaimana partner mereka di bagian dunia lain, gerakan-gerakan ini juga anti-demokrasi dan anti-pluralisme, dan sampai batas-batas yang jauh juga anti-nasionalisme. Secara ideologis, mereka ini jelas mendapat inspirasi dan pengaruh dari gerakan Islamis dan Salafi yang semula berpusat di beberapa negara-negara Arab, kemudian dengan kecepatan tinggi menyebar ke seluruh jagat. Untungnya di Indonesia, sebagian besar masjid masih di bawah pengawalan Muhammadiyah dan NU, sekalipun ada beberapa yang terinfiltrasi oleh virus ideologi serba radikal itu.[29]
Perbedaan pendapat tentang demokrasi bukan hanya masalah ideologis dan teknis atau penerapan demokrasi dalam pemungutan suara saja. Tetapi juga menyangkut prinsip-prinsip demokrasi tentang Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, Pluralisme bahkan juga isu tentang Lesbian Gay Bisexual dan Transgender (LGBT).
Dalam bentuk teknis sistem demokrasi yang diaplikasikan dalam proses pemilihan umum. Kelompok Islam fundamental secara umum mereka menentang ideologi demokrasi. Satu hal yang mungkin dilakukan oleh kelompok ini adalah dengan tidak ikut aktif dalam pemilihan umum (PEMILU). Alasannya, bahwa pemilihan umum bukan bagian dari mekanisme pengangkatan pemimpin yang sesuai dengan ajaran IslamIslam, pemilihan umum tidak pernah dikenal dalam sejarah politik Islam dimasa Nabi saw dan masa Khulafaurrasyidin mereka menganggap bahwa cara pengangkatan pemimpin dalam IslamIslam adalah dengan musyawarah untuk mufakat atau Syuro. Pemilu adalah cara memilih pemimpin dalam negara demokrasi, dan mereka menganggap bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang akan melahirkan sebuah pemerintahan thoghut. Thoghut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah swt. Dalam pemahaman kelompok ini demokrasi adalah sebuah ideologi kufur yang harus ditentang. Sebagaimana yang tertulis dalam buku yang berjudul Menghancurkan Demokrasi yang dikarang oleh Syaikh Ali Belhaj:
Dari sekian banyak alasan yang mendorong kita untuk menolak demokrasi adalah karena demokrasi itu tegak di atas suara mayoritas tanpa melihat lagi jenis suara mayoritas yang ada. Tolok ukur kebenaran dalam demokrasi ditentukan oleh pendapat mayoritas. Berangkat dari prinsip ini. Para pemimpin partai yang berhaluan demokrasi selalu berupaya mencari keridhaan mayoritas rakyat dengan segala cara, walaupun harus mengorbankan akidah, harga diri, agama dan kehormatan. Mereka melakukan semua ini untuk dapat meraih suara mayoritas rakyat dalam kompetisi-kompetisi pemilu yang beraneka ragam.[30]  
Namun, ada juga kelompok Islam fundamental yang menerima demokrasi dengan tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani, yang menerima demokrasi dalam penerapan nilai hak-hak individu yang sebenarnya nilai-nilai tersebut sudah ada dalam Islam sendiri. sedangkan dalam teknis pengangkatan pemimpin haruslah diperoleh melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Kemudian tokoh Islam Fundamental lainnya adalah al-Maududi, yang mengaplikasikan ide negara Islam Demokrat dalam berdirinya Negara Pakistan. Hal ini bisa kita lihat pada tulisannya Munawir Sadjali dalam pembahasannya tentang perjuangan Maududi dalam mendirikan negara Islam Pakistan;
Undang-undang dasar 1956 telah menampung sebagian dari aspirasi Maududi dan Jamiat antara lain dapat dilihat bahwa nama resmi Pakistan adalah Republik Islam Pakistan. Kemudian dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar itu dinyatakan bahwa Pakistan adalah suatu negara Demokrasi yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pasal 32 menegaskan bahwa kepala Negara harus seorang Islam. Pasal 97 menjanjikan suatu pembentukan suatu pusat penelitian Islam dengan tugas membantu rekontruksi masyarakat Islam (yang ada) berdasarkan konsepsi Islam yang benar. Yang terakhir adanya satu jaminan dalam pasal 198 bahwa tidak akan diundangkan rancangan undang-undang yang bertentangan dengan al-Quran dan Hadits Nabi.[31]
Dalam perkembangannya kelompok fundamental yang pernah melakukan pemilihan umum adalah partai FIS dalam pemilu di Aljazair 1989. Yang akhirnya dimenangkan oleh kelompok Islam fundamental FIS, namun kelompok Islam liberal sekuler tidak bisa menerima kekalahan dari kelompok Islam fundamental FIS. Kelompok Liberal sekuler melakukan kudeta militer yang dibantu oleh barat. Kelompok liberal yang mestinya menjunjung demokrasi dalam kasus pemilu Aljazair justru melawan nilai demokrasi itu sendiri. “FIS dicap Barat sebagai partai fundamentalis Muslim dan karenanya ia berbahaya bagi kepentingan barat. Barat diwakili Prancis berada di belakang penjegalan kemenangan partai Islam FIS”.[32] Perancis dan Barat pun menyambut para pelaku kudeta yang telah menjalankan rencana dan mendukung mereka. Kemudian militer membatalkan hasil (pemilu) dari proses demokrasi. Kedustaan kelompok liberal ini direkam oleh Syeikh Abu Mus’ab as-Suri dalam bukunya yang berjudul Mukhtasar Syahadati’ala al-Jihad fi al-Jazair, Thali’ah ar-Radd ‘ala Kitab al-Jami’yang menuliskan bahwa;
Lonceng tanda bahaya telah ditabuh di seluruh dunia. Negara-negara besar Salib menyatakan kesiapannya melakukan intervensi untuk mencegah para Islamis memegang tampuk kekuasaan. Bahkan Francois Mitterrand, presiden Prancis saat itu, menyatakan bahwa prancis siap melakukan intervensi militer untuk mencegah para Islamis berkuasa. Satu-satunya solusi di depan mereka adalah melakukan kudeta militer yang didukung oleh barat, terutama Perancis, untuk mencegah para Islamis memegang tampuk kekuasaan di Aljazair.[33]
Hingga akhirnya kedustaan kelompok Liberal ini berlanjut dengan kekacauan negara Aljazair dan terbunuhnya ribuan orang di negara Afrika Utara ini. Penghianatan kelompok Liberal ini melahirkan ketidakpercayaan lagi Kelompok Islam Fundamental terhadap demokrasi, dan membenci barat yang menyuarakan demokrasi namun akhirnya mereka mendustakan nilai demokrasi itu sendiri. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Ali Belhaj sebagai tokoh penting dalam berdirinya partai FIS di Aljazair. Dalam bukunya yang berjudul ad-Damghah al-Qawiyyah  yang terbit pada tahun 1990, beliau menuliskan ;
Negara-negara yang mengklaim demokratis ini sungguh telah menghancurkan berbagai bangsa. Ngara-Negara itu telah merobek-robek perut dan menghisap darah berbagai bangsa. Pembantaian-pembantaian ala demokrasi tak kurang banyaknya dibandingkan dengan pembantaian-pembantaian ala komunisme, kalaupun tak bisa dikatakan jahat. Hanya saja memang ada perbedaan di antara keduanya, yaitu Demokrasi membunuh dengan racun dalam gelas yang indah atau dengan benang dari sutra.[34]
Di Turki, setelah partai Islam Rafah (Welfare Party) memenangkan pemilu Nasional Desember 1995. Necmetin Erbakan pemimpin Rafah, akhirnya mengundurkan diri dalam usia jabatan tidak lebih dari 1(satu) tahun karena tekanan kuat dari militer Turki yang mengklaim sebagai “penjaga warisan sekulerisme Turki modern” dugaan kuat barat berada di belakang militer dan kaum Kemalis-sekuler yang menhambat kemengan Partai Islam Rafah. Bahkan, presiden AS Bill Clinton misalnya terang-terangan menyerukan kaum sekuler di Turki untuk bersatu dalam menghadapi kebangkitan Islam di negeri itu. Kemenangan Rafah mengingatkan barat atas kejayaan Khilafah Islam Utsmani. [35] 
Demokrasi dalam Pemilu Palestina tahun 2006 dan tahun 2012 yang dimenangkan militan Hammas hingga terbentuknya persatuan antara Fattah dan Hammas. Dan ini menjadi ancaman bagi pemerintah Israel yang didukung barat. Namun kemengan ini tidak diakui oleh barat. Karena barat khususnya AS memasukkan Hammas dalam daftar kelompok teroris.
Kemudian Demokrasi yang berlangsung di Mesir setelah Revolusi Mesir tahun 2012 lalu. Yang dimenangkan secara telak oleh kelompok Ikhwanul Muslimin, namun kelompok Islam Liberal membuat kekacauan didukung oleh Militer Mesir melakukan penculikan terhadap Presiden Mursi. Di sisi lain, intervensi asing khususnya Israel yang berusaha menjatuhkan pemerintahan Mursi yang sudah berlangsung selama satu tahun. Akhirnya berlanjut dengan tragedi berdarah yang menelan ribuan jiwa, akan tetapi dunia barat yang menyuarakan Demokrasi pun diam.
Kelompok Islam fundamental di Indonesia, yang menerima demokrasi seperti MASYUMI, PKS dan PBB kurang mendapat suara yang signifikan, sehingga sering berada dalam posisi yang tidak nyaman karena tidak memiliki bargaining politik , hal ini karena negara menerapkan kebijakan ganda terhadap IslamIslam politik. Yakni, mengizinkan dimensi ritual IslamIslam tumbuh berkembang, sementara negara sama sekali tidak memberi ruang atau kesempatan bagi berkembangnya IslamIslam Politik. Kebuntuan hubungan politik antara Islam fundamental dengan pemimpin negara ini disampaikan oleh Bakhtiar ;
Di Indonesia, dalam hal hubungan politiknya dengan negara, sudah lama IslamIslam mengalami jalan buntu. Baik rezim Presiden Soekarno maupun rezim Presiden Soeharto memandang partai-partai politik yang berlandaskan IslamIslam sebagai kekuatan-kekuatan pesaing potensial yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Terutama karena alasan ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas keras berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai IslamIslam. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis IslamIslam politik gagal menjadikan IslamIslam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam perdebatan perdebatan Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi Indonesia), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut “kelompok minoritas” atau “kelompok luar”. Pendek kata, seperti telah dikemukakan para pengamat lain, IslamIslam politik telah berhasil dikalahkan—baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum maupun secara simbolik.[36]
 Selain itu, dalam pandangan kelompok Islam Liberal, para aktivis Politik Islam atau kelompok Islam fundamental yang menerima jalan demokrasi, ditanggapi dengan sinis. Menurut tanggapan kelompok Liberal, kelompok fundamental yang berjuang melalui demokrasi hanya sebagai modus untuk menguntungkan elit politik Partai Islam saja;
Dari perspektif Islam politik, pemilu yang diselenggarakan secara bebas dan demokratis selalu dipandang sebagai instrumen politik yang menjadi pilihan utama untuk membawa para aktivis dan praktisi politik ke tampuk kekuasaan. Meskipun demikian, penting untuk disadari bahwa sistem demokrasi mengandung ambiguitas terkait dengan realisasi kepentingan kaum Muslim. Sudut pandang ini tidak berkaitan dengan sikap para aktivis politik yang berorientasi Islam terhadap demokrasi, tetapi lebih berhubungan dengan peluang yang disediakan demokrasi yang menguntungkan mereka.[37]
Wacana demokrasi di negara-negara Islam sebuah wacana yang mengakibatkan kelompok fundamentalisme Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok Islam Fundamental yang menolak demokrasi, mereka enggan masuk dalam Partai Politik ataupun sekedar memberikan suara di TPS, karena mereka meyakini bahwa suara mereka hanya akan di gunakan untuk keuntungan sekelompok elit partai politik. Dan aspirasi umat Islam yang di perjuangkan dalam parlemen sulit terwujud karena hal itu tidak lepas dengan intrik politik dan lobi-lobi yang tidak sehat. Sehingga, kelompok Islam fundamental yang menolak demokrasi ini mengambil titik aman secara aqidah juga secara hukum positif. Secara aqidah mereka tidak masuk dalam kejahiliahan demokrasi, yang menimbang nilai kebenaran berdasarkan suara mayoritas dan mengesampingkan nilai kebenaran Islam. Mereka menjaga diri dari hiruk pikuk perpolitikan yang selalu di gambarkan oleh media sebagai suatu ranah yang penuh dengan kemunafikan, intrik dan kelicikan. mereka tidak peduli atau acuh dengan politik tapi juga tidak melakukan perlawanan fisik terhadap negara.
Demokrasi dalam pandangan umat Islam yang menolaknya, adalah sebuah sistem jahiliah diluar Islam. Paham Demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah ideologi yang baru, ia merupakan teori tua yang muncul kembali dari peradaban barat modern (al-hadhaarah al-gharbiyyah al-mu’aashirah). Sedangkan peradaban barat modern itu sendiri merupakan peradaban yang lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi, sebagaimana dituturkan Arnold Toynbee dalam bukunya Civilization on Trial. Menurut Toynbee, apa yang disebut ‘Dunia Barat’ dewasa ini merupakan sempalan dari Imperium Romawi. Oleh karena itu pandangan hidup barat dapat dilihat sebagai kelanjutan pandangan hidup orang-orang Yunani kuno; cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan mereka juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan Yunani kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawiyah, praktis dan mengabdi pada kepentingan manusia (bukan Tuhan).[38]
Dengan beberapa dalil dalam manhaj Salafus Sholih, penolakannya terhadap sistem politik demokrasi melahirkan suatu karakteristik apatisme politik yang dekat dengan pemikiran fundamentalisme, tetapi tidak sampai pada tindakan radikalisme. Hal ini bisa terjadi karena Islam hanyaIslam)sajaIslam. Akan tetapi, t t karena t yang melawan negara.





[1] Quraish Shihab, Logika Agama : kedudukan wahyu dan batas-batas akal dalam Islam (Jakarta, Lentera Hati, 2005), h. 64.
[2] ISLAMIA, volume. VI, No.1,2012, h. 38
[3] Ibid, h. 52.
[4] Ibid, h. 69
[5] Ibid, h. 87
[6] Jeff Haynes, Demokrasi Dan Masyarakat Sipil Di Dunia Ketiga, Penerjemah P. Sumitro, (Yayasan Obor, Indonesia, 2000),  h. 246.
[7] Husaini Adian. Op.Cit, h. 37.
[8] Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, (Bandung, Sega Arsy, cetakan pertama, 2014), h. 27.
[9] Husaini Adian. Op.Cit, h. 101.
[10] Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Jakarta, Democracy Project, edisi digital, 2012), h. 78.
[11] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, cetakan ke-23, 1996), h. 302.
[12] Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, (Surabaya, Bina Qalam, cetakan 1, th. 2015), h. 63
[13] Ibid, h. 66. (dalam catatan kaki)
[14] Ibid, h. 67. (dalam catatan kaki)
[15] http://www.suara-Islam.com/read/index/15460 di down load pada 24 Juli 2016, 14:24.
[16] Husaini Adian. Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta, Gema Insani, 2009), h. 140.
[17] Firdaus Syam, Op.Cit, h. 371
[18] Firdaus Syam, Op.Cit, h. 373
[20] Farag Fouda, Kebenaran Yang Hilang, Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, Judul Asli: Al-Haqiqah al-Ghaibah Penerbit: Dar wa Matabi’ al-Mustaqbal, Aleksandria, Mesir Cetakan II, 2003 Penerjemah: Novriantoni (Edisi Digital Democracy Project), h. 30.
[21] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta, Demokrasi Projeck, Edisi Digital, 2011) h. xvii
[22]Ibid, h. xviii
[23] Budhy Munawar Rachman, Membela Kebebasan Beragama; Percakapan tentang Sekularisme, LIberalisme, dan Pluralisme, (Democracy Project , Edisi Digital,jakarta 2011) h. vi-vii.
[24]  M Imdadun Rahmat, Op. Cit, h.xviii
[25] Samuel P. Hautington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, penerjemah Asril Marjohan (Jakarta: Pustaka Utama grafiti, 1995), h. 155
[26] icce uin syarif hidayatullah jakarta, pendidikan kewarganegaraan, (jakarta, prenada media, revisi, 2003), h. 110.
[27] ibid, h. 112.
[28] ibid, h. 111.
[29] Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Jakarta, Democracy Project, edisi digital, 2012), h. 21.
[30] Syaikh Ali Belhaj, menghancurkan demokrasi, ad-damghah al-qawiyyah ,terjemahan Muhammad shiddiq al-jawi, (bogor,:pustaka thariqul izzah, cetakan i, 2002), h. 1
[31] Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara;ajaran,sejarah dan pemikiran, (Jakarta, UI Press, Edisi 5, 2003), h. 165.
[32] Asep Syamsul Romli, Op. Cit, 11.
[33] Abu Mus’ab as-Suri, Balada Jihad Aljazair: menguak infiltrasi intelijen & paham takfiridalam gerakan jihad, (Solo, Jazera, 2015), h.40.
[34] syaikh ali belhaj, Op.Cit. h. 1
[35]  Asep Syamsul Romli, Op. Cit, 11
[36] Bahtiar Effendy, islamOp. Cit, h. 2-3
[37] Bahtiar Effendy, islamOp. Cit, h. 423

Tidak ada komentar:

Posting Komentar