Lima tahun lalu dalam diskusi kuliah
filsafat di semester pertama, mencoba memahami apa itu filsafat, sederhananya
dipahami bahwa filsafat adalah "cinta kebijaksanaan". untuk
memperoleh kebijaksanaan ada suatu proses perenungan untuk memahami hakikat
akan sesuatu, berfikir keras atau berijtihad (dalam Islam), secara
sederhana “ijtihad” bisa diartikan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk
meraih sesuatu yang dimaksud. Proses berfikir seperti ini tentu saja sudah ada
sejak manusia itu ada, klaim bahwa filsafat muncul dalam peradaban Yunani, itu
hanya klaim nama saja. Karena, sebelum peradaban yunani ada, sudah ada beberapa
peradaban yang mendahuluinya seperti peradaban Mesopotamia. Pencapaian
suatu peadaban yang tinggi tentu saja harus melewati proses kesadaran berfikir
kolektif yang berkesinambungan lintas generasi, dalam memecahkan berbagai
permasalahan hidup manusia yang semakin kompleks. Oleh karena itu sudah pasti
bahwa proses berfikir semacam filsafat ini sudah dilakukan oleh manusia jauh
sebelum Aristoteles dan bangsa Yunani ada.
Dalam
proses berfilsafat ada proses dilektika, yang membutuhkan logika berfikir dan
logika bahasa. Dalam logika kita butuh sebuah term (kata untuk mendefinisikan
sesuatu hal). Pen-definisi-an akan sesuatu hal ini seperti pemberian nama yang
disepakati bersama sehingga terkumpul menjadi sebuah bahasa sebagai lambang
komunikasi. Praktisnya untuk menunjukkan suatu benda kita tidak perlu membawa
benda yang kita maksud, tapi cukup menyebutkan nama yang sudah menjadi
kesepakatan umum benda tersebut. Persoalan sederhana yang mendasar dalam
berlogika dan berfilsafat adalah penguasaan nama-nama suatu benda. Maka, hal
inilah yang menjadi dasar mengapa Allah swt mengenalkan nama-nama benda kepada
Adam setelah penciptaannya, dan kemampuan ini tidak dimiliki oleh makhluk Allah
yang lain. al-Baqoroh 31-33;
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ (#qä9$s% y7oY»ysö6ß w zNù=Ïæ !$uZs9 wÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã (
y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOÅ3ptø:$# ÇÌËÈ tA$s% ãPy$t«¯»t Nßg÷¥Î;/Rr& öNÎhͬ!$oÿôr'Î/ (
!$£Jn=sù Nèdr't6/Rr& öNÎhͬ!$oÿôr'Î/ tA$s% öNs9r& @è%r& öNä3©9 þÎoTÎ) ãNn=ôãr& |=øxî ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ãNn=÷ær&ur $tB tbrßö7è? $tBur öNçFYä. tbqãKçFõ3s? ÇÌÌÈ
31.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"
32.
Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[35]."
33.
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda
ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu,
Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya
aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?"
Mengapa
proses mengajarkan nama-nama ini dihubungan dengan sifat ke-Maha Bijaksanaan
Allah swt? krena penguasaan nama-nama benda ini menjadi dasar bagimanausia
untuk berfikir keras, berijtihad untuk memperoleh hikmah dan
kebijaksanaan.
Pengenalan
nama-nama benda ini kemudian berkembang dengan mendefinisikan dan memberikan
nama-nama sesuatu yang baru yang belum pernah diajarkan. begitu juga sejak kecil kita dikenalkan dengan nama-nama benda yang sudah menjadi kesepakatan bersama secara turun temurun sesuai dengan bahasa lingkungan masyarakatnya. Termasuk juga
pemberian nama terhadap anak-anaknya dan keturunannya. untuk memberian definisi tntang siap diri kita. Hal ini terus berlanjut
hingga saat ini dengan memberikan Nama kepada anak-anak kita sebagai penerus
generasi dan pasti akan diteruskan sampai generasi manusia terakhir. Artinya,
pemberian nama anak merupakan suatu warisan budaya dari seorang manusia pertama
yang bernama Adam. Pemberian nama terhadap sesuatu (term) merupakan hal sederhana tapi sangat mendasar agar terjadi dialektika dalam logika dan filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar