Negara, apapun bentuknya adalah hasil dari sebuah konsensus, Mempertahankan konsensus sebagai dasar negara merupakan sebuah tanggung jawab yang dibebankan kepada seluruh warga negara. Tanggung jawab ini merupakan suatu tuntutan mutlak demi langgengnya kedaulatan sebuah negara. Untuk mempertahankan konsensus ini harus ada kesamaan ideologis sebagai dasar ikatan pemikiran setiap induvidu, ideologi menjadi dasar masyarakat untuk menetunkan aturan main dalam mengelola negara. Ideologi ini menjadi dasar bagi perumusan arah politik, konsep ekonomi, legalitas hukum dan undang-undang. Oleh karena itu terawatnya kesamaan ide dan pemikiran yang di konstruksikan dalam ideologi negara adalah salah satu jaminan bahwa konsensus akan bertahan melewati lintas generasi. Regenerasi pemikiran ini sangat penting agar generasi berikutnya tidak tergerus oleh perkembangan zaman yang terus berubah. Bukan tidak mustahil bahwa sebuah negara akan hilang karena tidak mampu mempertahankan eksistensinya karena gagal dalam meregenerasikan semangat ide pemikiran para Founding Father-nya. Dalam Mukadimah Ibnu Khaldun diterangkan tentang berbagai sebab silih bergantinya kejayaan sebuah negara, mulai dari awal berdirinya kemudian mencapai puncak kejayaan, hingga akhirnya runtuh tanpa bekas. Berdiri dan runtuhnya sebuah negara disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Silih bergantinya negara merupakan sebuah keniscayaan dari dinamika kehidupan manusia yang memiliki sifat sosial untuk berkelompok dan saling mempengaruhi (memperebutkan pengaruh kekuasaan).
Dewasa ini, kita bisa melihat dalam lintasan sejarah peradaban manusia tentang silih bergantinya negara yang mencapai kejayaan gemilang dan membentuk sebuah peradaban dunia. Sebagai contoh; mulai dari peradaban babilonia, mesopotamia di timur tengah, peradaban mesir kuno di Afrika utara, peradaban Hindustan di Asia selatan, peradaban Persia di Iran, peradaban China, peradaban Yunani Romawi di Eropa, peradaban Islam yang pernah terbentang dari Maroko, Andalusia hingga sampai ke Nusantara, dan bahkan peradaban Aztec di Amerika selatan.
Peradaban pada masa itu terlahir dari kuatnya pengaruh satu atau beberapa negara dalam bidang politik, militer dan budaya yang seiring dengan kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan. Berbagai kejayaan dari peradaban besar tersebut tercapai seiring dengan kemajuannya dan bidang ilmu pengetahuan. Didukung pula oleh misi ideologi politik dan militer dari masing-masing negara untuk saling melebarkan pengaruhnya. Sedangkan masa kejayaan dan kedaulatan sebuah negara tidak bisa lepas dari bagaimana me-regenerasi-kan eksistensinya dalam jangka waktu tertentu. Namun, dari sekian banyaknya peradaban besar tersebut semuanya telah musnah seiring dengan hilangnya kedaulatan Negara penyokong yang berangsur melemah. Hal ini menunjukkan bahwa silih bergantinya negara adalah sebuah keniscayaan.
Dari sekian banyak peradaban yang sudah ada, peradaban tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Kebudayaan ini tentu saja membentuk pola pikir dan alam pemikiran yang berbeda pula. Dalam suatu lingkup negara, alam pemikiran inilah yang kemudian terkonstruksi menjadi kesadaran kolektif tentang kesamaan ideologis dalam membentuk sebuah negara dan bagaimana mempertahankan negara atau kekuasaannya. Akan tetapi, lingkup pemikiran yang luas dan bebas, tidak bisa dibatasi oleh wilayah kedaulatan memungkinkan bahwa setiap ideologi sudah pasti mengalami benturan dengan ide-ide lain di seluruh dunia. Benturan ideologi ini dalam sepanjang peradaban manusia sering di ikuti oleh beturan budaya, ekonomi, politik bahkan benturan militer (atau perang terbuka). Keadaan ini berlanjut hingga masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Dimasa modern ini, benturan militer ini masih terus terjadi untuk menguasai secara paksa negara lain, sebagai contoh AS menjajah Irak dan Afghanistan, dan Israel menjajah Palestina atau beberapa konfik militer lainnya. Akan tetapi peran media tidak bisa di kesampingkan dalam menyebarkan propaganda ideologi dan politiknya kepada dunia. Ketika media informasi semakin maju propaganda pemikiran dan politik memiliki medan baru untuk bertempur dalam mempengaruhi opini publik dan dukungan dunia. Saat ini benturan ideologi lebih halus disampaikan melalui media masa, atau memalalui social network yang memiliki sasaran lebih luas dan kemudahan dalam mengaksesnya. Hal ini sangat terasa sekali imbasnya di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya mudah dalam mengakses berbagai informasi tanpa batas di belahan dunia, tidak sedikit generasi milenial yang mengalami degradasi moral.
Indonesia, sebagai sebuah negara yang berideologi Pancasila mengkombinasikan dengan ideologi demokrasi dalam sosial politik. Memberikan kebebasan yang cukup luas dalam kebebasan informasi, media masa menjadi salah satu corong demokrasi memiliki peran yang sangat fital dalam mempengaruhi opini publik. Hal ini memungkinkan media masa sebagai sarana untuk menyebarkan ide-ide dan pemikiran sesuai dengan pesan suatu kelompok politik dengan misi ideologi tertentu. Karena media masa disatu sisi menyampaikan informasi secara obyektif tapi disisi lain juga mampu menyampaikan informasi secara tendensius, dengan mendiskreditkan suatu kelompok lawan politik yang berseberangan dengan penguasa media. Terlebih lagi media mainstream nasional di indonesia mayoritas di miliki oleh beberapa penguasa partai politik, sehingga cenderung tidak obyektif dalam menyampaikan informasi. Dalam ranah media masa ini benturan ideologi sangat kuat, tapi kabur karena berada dibelakang berbagai kepentingan politik. Bahkan ideologi pancasila hanya sebagai kamuflase nasionalisme dalam menutupi kepentingan politiknya.
Sudah 20 tahun kita melewati orde reformasi tapi berbagai problem kebangsaan masih belum selesai. Mulai dari korupsi, dekadensi moral, konflik SARA, tingginya angka kejahatan, ketidakpastian hukum, kesenjangan sosial, kurangnya kedewasaan berpolitik, hilang adab, disintegrasi daerah, SDA yang terus di keruk oleh segelintir elit kapitalis, tingginya tingkat kemiskinan, rendahnya mutu pendidikan, buruknya pelayanan birokrasi, tidak stabilnya harga kebutuhan pokok dll. Problematika bangsa yang begitu kompleks ini akan melahirkan problem-problem baru di dalam masyarakat berupa apatis dan ketidakpedulian terhadap institusi negara, kondisi ini sudah terjadi saat ini. Yang dikhawatirkan akan berlanjut pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dasar Pancasila sebagai falsafah dan ideologi. Tentu saja hal ini bisa menjadi awal keruntuhan konsensus Negara Indonesia. Gejala lunturnya semangat Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa sudah dikhawatirkan oleh berbagai pihak, sehingga tidak salah jika MPR menggalakkan gerakan Pengamalan Empat Pilar.
Dalam hal kedaulatan bangsa, meskipun bangsa ini telah merdeka sejak tahun 1945, sulit untuk mengatakan bahwa Indonesia disebut sebagai bangsa yang benar-benar berdaulat. Satu kasus yang sangat nyata terlihat dari hilangnya kedaulatan Negara Indonesia dalam mengelola Sumber Daya Alam yang di kuasai oleh beberapa korporasi asing, sebagaimana disebut oleh Bung Karno sebagai Neo Kolonialisme Modern. Hal ini tidak lepas dari penghinat-penghianat bangsa yang duduk dalam parlemen dan pemerintahan yang melegalkan SDA Indonesia dikuasai asing. Sebut saja skandal “Papa Minta Saham” yang melibatkan Setya Novanto dan disebutkan bahwa Luhut Binsar Panjaitan memiliki peran dan jatah dari perpanjangan kontrak Freeport di tanah Papua ini. Kasus ini telah membuka mata kita semua bahwa kita tidak memilki kedaulatan dalam pengelolaan sumber daya alam yang menjadi hajat hidup rakyat Indonesia. Dan masih banyak lagi para penghianat negeri ini yang bersembunyi di balik nasionalisme dan Pancasila. Jika perilaku seperti ini yang akan diperlihatkan kepada generasi bangsa ini, jika kita gagal mewariskan (me-regenerasi-kan) ide-ide dan pemikiran kebangsaan ini kepada generasi berikutnya, ada kemungkinan bahwa umur kedaulatan negara Indonesia ini tidak bertahan lama. Gejala ini bisa kita lihat dari sikap generasi milenial yang semakin acuh terhadap kondisi negara. Sementara generasi sebelumnya justru mewariskan problematika kebangsaan yang terus berlarut.
Disatu sisi gerakan-gerakan pemikiran bawah tanah mulai berkembang dan muncul ke permukaan, baik itu dari kelompok Islam (ISIS & Syi'ah) maupun dari kelompok Komunis. Atau mungkin ideologi lain yang berkamuflase dalam ideologi Pancasila, dan menafsirkan Pancasila dengan pemahaman sepihak. Gejala ini akan mengaburkan eksistensi Pancasila itu sendiri dalam kehidupan sosial masyarakat, sehingga merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan gerakan ini akan menunggu waktu yang tepat untuk melakukan perubahan dan pergantian kedaulatan. Kondisi ini bukan tidak mungkin, mengingat kecanggihan komunikasi melalui jaringan sosial mampu mengkoordinir gerakan dengan cepat dan efisien. Dan militansi gerakan yang cukup tinggi mampu untuk melakukannya.
Hilangnya Indonesia sebagai negara yang berdaulat bukanlah sebuah khayalan belaka, karena perdebatan tentang kebangsaan ini masih belumlah usai, dan transformasi kedaulatan masih akan terus berlanjut, meskipun klaim “Final” itu terus bergema. Tapi realitanya riak-riak kebencian dan permusuhan selalu ada. Dan retakan bangunan kebangsaan inipun tidak pantas untuk di sebut kokoh. Bagaimanapun juga, Indonesia adalah bagian dari metamorfosis kehidupan bangsa yang disebut Nusantara. Sebagaimana tlah berlalu masa kedaulatan beberapa kerajaan (negara) di tanah ini yang datang silih berganti. Dan kini kita tahu negara-negara itu tlah menjadi bagian dari sejarah, yang runtuh meninggalkan puing-puing yang terserak. Tak perlu pesimis tapi jangan pula terlalu yakin akan keabadian Negara. Karena sejarah telah membuktikan bahwa, silih bergantinya kedaulatan Negara adalah sebuah keniscayaan.
Bandar Lampung, 17 Desember 2017
Xhavadzo