Xhavadzo: Januari 2018

Selasa, 30 Januari 2018

Filsafat Ilmu Islami : Manusia Bisa Tahu Yang Benar

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif (Peneliti Insists)

Manusia normal pada hakikatnya dapat mengetahui kebenaran dengan segala kemampuan dan keterba-tasannya. Ia juga bisa memilih (ikhtiyar) dan memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (tahkim) mana yang benar dan mana yang salah, mana yang berguna dan mana yang berbahaya, dan seterusnya.
‘Kemampuan’ yang dimaksud adalah kapasitas manusia lahir dan batin, mental dan spiritual, dengan segala bentuk dan rupanya. Ada pun ‘keterbatasan’ merujuk pada keterbatasan intrinsik manusiawi maupun ekstrinsik non-manusiawi, Keterbatasan yang dimiliki manusia meskipun ada, tidak sampai berakibat gugurnya nilai kebenaran maupun keabsahan atau validitas dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kondisi ‘normal’ yakni keadaan seorang yang sempurna (tidak cacat) dan sehat (tidak sakit atau terganggu), baik fisik maupun mentalnya, jasad dan ruhnya, terutama sekali akal dan hati (qalb)-nya.
Maka dalam diskursus Filsafat Ilmu yang Islami, mengetahui (‘ilm) dan mengenal (ma‘rifah) bukan sesuatu yang mustahil. Pendirian kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dalam soal ini disimpulkan oleh Abu Hafs Najmuddin ‘Umar ibn Muhammad an-Nasafi secara ringkas: haqa’iqul asyya’ tsabitah, wal-ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan lis-sufistha’iyyah (Lihat: Matan al-‘Aqa‘id dalam Majmu‘ Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba ‘ah al-Khayriyyah, 1306 H).
Ditegaskan bahwasanya hakikat, kuiditas atau esensi dari segala sesuatu itu tetap sehingga bisa ditangkap oleh akal minda kita. Hakikat segala sesuatu dikatakan tidak berubah karena  yang  berubah-ubah itu hanya sifat-sifatnya, a’rad, lawahiq atau lawazim-nya saja, sehingga ia bisa diketahui dengan jelas. Sebagai contoh, manusia bisa dibedakan dari monyet, ayam tidak kita samakan dengan burung, atau rotidengan batu. Maka ilmu tentang kebenaran tidak mustahil untuk diketahui oleh manusia sebagaimana ditegaskan dalam  kitab suci al-Qur’an surah az-Zumar (39:9): “…. katakanlah: Apakah sama, orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?”
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Bagaimana cara, dengan apa atau dari ilmu apa dapat  diketahui dan dipastikan? Meminjam formulasi wacana filsafat modern: How is knowledge possible? Jawaban pertanyaan ini adalah ilmu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu persepsi indera (idrak al-hawass), proses kognitif akal yang sehat (ta‘aqqul) termasuk intuisi (hads), dan melalui informasi yang benar (khabar shadiq). Demikian ditegaskan oleh Sa‘duddin at-Taftazani, Syarh al-‘Aqa‘id an-Nasafiyyah, cetakan Istanbul: al-Matba’ah al- ‘Uthmaniyyah, 1308 H.
Permasalahan tersebut juga disinyalir dalam al-Qur’an surat an-Nahl (16):78, Qaf (50):37, al-A’raf (7): 179, Ali ‘Imran (3):138, dan masih banyak lagi. Persepsi inderawi yang digunakan manusia untuk memperoleh ilmu meliputi kelima indera (pendengar, pelihat, perasa, penyium, penyentuh), di samping indera keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis, yang menyertakan daya ingat atau memori (dzakirah), daya penggambaran (khayal) atau imajinasi, dan daya perkiraan atau estimasi (wahm) (Silakan lihat: Imam al-Ghazali, Ma‘arij al-Quds ila Madarij Ma‘rifat an-Nafs, Beirut, 1978). Sedangkan proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir (fikr), seperti dinyatakan oleh Imam ar-Razi dalam kitab Muhassal Afkar al-Mutaqaddimi wa 1-Muta’akhkhirin, cetakan Kairo: al-Matba’ah al-Husayniyyah, 1969. Dengan nalar dan pikir ini manusia bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi ruhani seseorang dapat menangkap pesan-pesan ghaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya.
Selain persepsi indera dan proses akal sehat, sumber ilmu manusia yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq, yakni informasi yang berasal dari atau disandarkan pada otoritas. Sumber khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan ditransmisikan(ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai ke akhir zaman.Mengapa hanya khabar sadiq yang diakui sebagai sumber ilmu? Mengapa tidak semua informasi bisa dan atau harus diterima? Lantas kapan suatu proposisi, informasi, pernyataan, ucapan, pengakuan, kesaksian, kabar mesti ditolak? Apa patokan dan ukurannya? Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini pun telah dirumuskan oleh para ulama ahli hadis dan usul fiqh.
Secara umum, khabar atau kabardalam arti berita, informasi, cerita, riwayat, pernyataan, atau ucapan, berdasarkan nilai kebenarannya dapat diklasifikasikan menjadi kabar benar (shadiq) dan kabar palsu (kadzib). Sebagian ulama bahkan berpendapat pemilihan ini perlu diperjelas lagi dengan kriteria ‘dengan sendirinya’ (bi-nafsihi atau lidzatihi) yakni tanpa diperkuat oleh sumber lainnya, dan ‘dengan yang lain’ (bi-ghayrihi) yakni karena didukung dan diperkuat oleh sumber lain. Khabar shadiq menurut Imam an-Nasafi, al‘Aqa’iddibedakan menjadi dua macam.  Pertama, khabar mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dan banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Maka kabar jenis ini merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya (mujib li l-’ilmi d-dharuri). Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan oleh para Rasul yang diperkuat dengan mukjizat. Informasi melalui jalur ini bersifat istidlali dalam arti baru bisa diterima dan diyakini kebenarannya (yakni menjadi ilmu dharuri alias necessary knowledge) apabila telah diteliti dan dibuktikan terlebih dulu statusnya. Keterangan Imam an-Nasafi ini menggabungkan aspek kualitas dan kuantitas narasumber.
Penting sekali diketahui bahwa tidak semua informasi atau pernyataan yang berasaldari orang banyak bisa serta-merta dianggap mutawatir. Mengingat implikasi epistemologisnya yang sangat besar, para ulama telah menetapkan sejumlah syarat sebagai patokan untuk menentukan apakah sebuah kabar layak disebut mutawatir atau tidak. Berkenaan dengan khabar al-wahid atau khabar al-ahad, para ulama juga telah menetapkan persyaratan yang cukup ketat, tidak hanya untuk nara sumbernya, tapi mencakup isi pesan yang disampaikannya, serta cara penyampaiannya. Maka sebuah kabar yang membawa ilmu mesti diklasifikasi juga berdasarkan kualitas sumber-sumbernya, siapa pembawa atau penyebarnya atau orang yang mengatakannya, lalu bagaimana kualifikasi serta otoritasnya (sanad atau isnadnya).
Sikap kritis terhadap sumber dan isi ilmu dalam juga perlu dilakukan terhadap sumber intern masyarakat Islam sendiri. Hal ini dapat dilacak dan sejarah keilmuan Islam sejak kurun pertama Hijriyah. Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, ‘Umar ibn al-Khattab dan Ali ibn Abi Talib terkenal sangat berhati-hati dalam menerima suatu laporan atau khabar dari para Sahabat mengenai ucapan, perbuatan ataupun keputusan yang ditetapkan Rasulullah SAW. Untuk menepis kemungkinan terjadinya tindakan pemalsuan dan dusta atas nama Rasulullah SAW, para khalifah bukan hanya melakukan pemeriksaan seksama (tatsabbut) dengan cara meminta minimal dua orang saksi (istisyhad) dan menuntut sumpah (istihlaf, bahkan juga mengimbau agar orang tidak gampangan mengeluarkan hadith (iqlal fi r-riwayah). Untuk ini kita bisa merujuk kitab Hujjiyyat as-Sunah karya  ‘Abd al-Ghani ‘Abd al-Khaliq, Washington: International Institute of Islamic Thought, 1986.
Sikap selektif terhadap sumber ilmu yang dikembangkan menjadi metode isnad ternyata masih sangat relevan dalam tradisi intelektual di jaman modern ini. Pentingnya metode ini dapat dirujuk kepada pernyataan ulama salaf ‘Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H 797 M): “Tanpa sandaran otoritas, niscaya setiap orang akan berbicara tentang apa saja sesuka-hatinya (lawla l-isnad, laqala man sya’a ma sya’a).” Sedangkan Abu Hurayrah r.a., Ibn ‘Abbas r.a., Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, ad-Dhahhak, Ibrahim an-Nakha’i pun telah berpesan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Karena itu, perhatikanlah dengan siapa kalian berguru dalam soal agama (inna hadza-l-’ilma dinun, fa unzhuru ‘amman ta’khudhuna dinakum). (Imam Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kitab al-Majruhin min al-Muhaddithin wa d-Dhu‘afa’ wa l-Matrukin, cetakan Aleppo: Dar al-Wa’y, 1396 H.
Apabila diekspresikan dalam bahasa epistemologi kontemporer, pesan ini berarti bahwa ilmu haruslah dicari dari sumber-sumber yang otoritatif yaitu mereka yang memiliki pandangan hidup Islam dan terpancarkan dari prinsip-prinsip ajaran agama Islam itu sendiri. Maka dapat kita simpulkan bahwa filsafat ilmu itu mencakup arti mengetahui, obyek pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, dan proses mengetahui yang dalam Islam memiliki ciri khas tersendiri dan karenanya secara substantif sangat berbeda dengan filsafat ilmu dalam peradaban-peradaban lain.
Prinsip-prinsip (usul) dan dasar-dasar (mabadi’) filsafat Ilmu dalam Islam telah dirumuskan oleh para ulama Islam terdahulu (salaf) dan golongan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah berasaskan kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW sehingga tidak empirisistik hanya mengandalkan persepsi inderawi dan bukan pula rasionalistik mendewakan kemampuan akal belaka, akan tetapi dikuatkan oleh wahyu otentik yang berasal dari Allah swt, Sang Pemilik ilmu.*

Sumber : https://insists.id/islamisasi-sains-apanya-yang-diislamkan/

Sabtu, 06 Januari 2018

JASA DESAIN COVER BUKU dll


whatsapp : 085658833991



Cover Buku




Banner


X-Banner



Sertifikat



Map



Brand Logo



Ketentuan :

1. 

Jumat, 05 Januari 2018

Bangsa Khazar dan Teori Suku Yahudi ke-13

Di antara kaum non-Bani Israel yang menganut agama Yahudi paling menonjol di dalam sejarah adalah bangsa Khazar Oleh: Alwi Alatas*

SETIAP kali mendengar istilah Yahudi, sebagian orang mungkin membayangkan istilah ini mewakili dua hal sekaligus: agama dan bangsa/ras. Dengan kata lain, Yahudi merupakan agama yang dianut oleh orang-orang berdarah Yahudi (Bani Israil). Agama Yahudi memang biasanya dinisbatkan kepada keturunan Israil (Nabi Ya’qub ’alaihis salam), yang terdiri dari 12 suku, dan bukan kepada selain mereka. Kita mengetahui bahwa di sepanjang sejarah dan juga pada hari ini, ada banyak orang-orang berdarah Yahudi yang menganut keyakinan selain Yahudi, baik Islam, Kristen, ataupun atheisme. Tapi banyak orang mungkin tidak membayangkan adanya bangsa non-Yahudi, bangsa di luar kedua belas suku Israil, yang menganut yudaisme. Kenyataannya, ada beberapa suku bangsa non-Bani Israil yang menganut yudaisme, di samping mereka yang memang berdarah Yahudi.
Dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyyah kita membaca bahwa sekitar satu abad menjelang kenabian ada peristiwa terkait dengan apa yang disebut Al-Quran sebagai Ashabul Ukhdud. Tepatnya pada tahun 523 M, seorang raja beragama Yahudi di Yaman, Dzu Nuwas, melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap para penganut Kristen di wilayah Najran. Peristiwa inilah yang memicu invasi pasukan Ethiopia ke Yaman.1 Ibn Hisyam menyebutkan di dalam sirahnya bahwa agama Yahudi masuk ke Yaman pada masa itu melalui dakwah rabi Yahudi terhadap penguasa di wilayah Yaman, bukan melalui migrasi orang-orang Yahudi. Konversi beberapa Raja Bani Himyar di Yaman bahkan sudah terjadi sejak beberapa abad sebelumnya. Selain di Yaman, sejarah juga menyebutkan bahwa beberapa suku Berber di Afrika Utara, seperti suku Jawara, Nafusa, dan Kahina, menganut agama Yahudi sebelum masuknya Islam ke wilayah itu dan sebagian dari mereka mempertahankannya hingga ke masa Islam.2
Di antara kaum non-Bani Israel yang menganut agama Yahudi yang paling penting dan paling menonjol di dalam sejarah adalah bangsa Khazar. Orang-orang Khazar merupakan bangsa keturunan Turki, walaupun ada satu riwayat yang sulit dikonfirmasi kebenarannya menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan Japeth bin Nuh dan menjalin hubungan pernikahan dengan keturunan Ibrahim ’alahis salam, dari istri Arabnya yang bernama Qantura/Keturah binti Maqtur yang berhijrah dan mendiami wilayah Khurasan.3 Mereka mendiami wilayah di bagian Utara Laut Hitam, yang sekarang ini merupakan bagian dari wilayah Rusia, berbatasan dengan Kekhalifahan Islam di sebelah Selatan dan Tenggara, dan dengan Byzantium di sebelah Barat dan Barat Daya. Kerajaan Khazar eksis sejak abad ke-7 dan bertahan selama beberapa abad lamanya, setidaknya sampai abad ke-10/11. Pada awalnya mereka menganut paganisme dan shamanisme, namun sejak pertengahan abad ke-9 mereka menganut agama Yahudi.
Nama Khazar disebutkan dalam banyak literatur muslim pada masa itu, walaupun tidak secara detail. Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, matematikawan muslim, pernah dikirim oleh Khalifah ke Khazar, entah untuk keperluan apa. Misi Sallam mencari tembok Ya’juj Ma’juj, sebagaimana pernah kami sebutkan dalam tulisan sebelumnya (“Rihla”), juga melalui kerajaan ini dan mendapat bantuan dari penguasa Khazar, Tarkhan.4 Sejak pertengahan abad ke-7, bangsa Khazar menjadi kekuatan yang dominan di wilayah Kaukasia dan memainkan peranan penting dalam perdagangan antara dunia Islam dengan wilayah-wilayah di sekitarnya selama 3 abad berikutnya.5
Masa-masa perang dan damai dengan tetangga-tetangganya yang muslim (Abbasiyah) dan Kristen (Byzantium), serta interaksi dengan orang-orang Yahudi yang bermigrasi ke Khazaria sejak abad ke-8, mendorong penguasa Khazar untuk memilih salah satu dari tiga agama tersebut. Pada pertengahan abad ke-9, Raja Bulan mengundang tokoh-tokoh agama Yahudi, Kristen, dan Islam untuk mengetahui doktrin dan ajaran masing-masing agama. Ia kemudian memilih Yahudi sebagai agamanya, dan belakangan menjadikannya sebagai agama resmi kerajaan. Kira-kira tiga abad kemudian, Yehuda ha-Levi, seorang filsuf Yahudi di Andalusia, menulis sebuah kitab berjudul Sefer ha-Kuzari (Kitab al-Khazari), sebuah kitab yang lebih ditujukan untuk menunjukkan keunggulan teologis Yahudi melalui kisah dialog antara penguasa Khazar dengan tokoh-tokoh agama, ketimbang aspek historis dari proses konversi itu sendiri.
Dalam bagian kedua buku ini diceritakan bahwa setelah berdialog dengan ketiga tokoh agama tersebut, dan juga dengan seorang filsuf, penguasa Khazar dan wazirnya melakukan perjalanan ke daerah pegunungan hingga pada suatu malam tiba di sebuah gua dan berjumpa dengan orang-orang Yahudi yang tengah merayakan hari Sabath. Dengan merahasiakan identitasnya, mereka kemudian berkonversi ke agama Yahudi dan disunat di gua tersebut. Setelah itu mereka kembali ke kerajaan dan mempelajari hukum-hukum Yahudi lebih jauh, tapi masih merahasiakan keyahudian mereka untuk beberapa waktu lamanya. Secara bertahap mereka kemudian mengumumkan agama baru mereka dan mendorong masyarakat Khazar untuk memeluk agama Yahudi.
Ha-Levi juga menjelaskan bahwa “buku-buku sejarah mereka (Khazar, pen.) juga menyebutkan tentang kemakmuran mereka, bagaimana mereka mengalahkan musuh, menaklukkan wilayah-wilayah lawan, dan mendapatkan harta pampasan yang besar … betapa mereka menyintai keyakinan mereka dan memendam rindu terhadap Rumah Suci, sampai-sampai mereka membuat sebuah tabernakel seperti yang pernah dibuat oleh Musa. Mereka juga menghargai dan menyambut orang-orang keturunan Israel yang hidup di tengah-tengah mereka.”
Penguasa-penguasa Khazar berikutnya meneruskan kebijakan ini. Mereka menganut agama Yahudi secara sungguh-sungguh, membangun sinagog di wilayah Khazar, mengundang rabi-rabi Yahudi dari negeri-negeri lain untuk datang dan mengajar di negeri mereka, dan mendorong konversi lebih jauh masyarakatnya ke dalam agama Yahudi. Dengan demikian, walaupun ada sebagian masyarakat Khazar yang menganut Islam dan juga Kristen, sebagian besar bangsa Khazar kemudian menjadi penganut Yahudi. Sejak saat itu, terutama sejak abad ke-10, bangsa Khazar secara umum dikenal sebagai penganut Yahudi.6
Yehuda ha-Levi, yang telah kami sebutkan di atas, bukan tokoh Yahudi pertama di Andalusia yang mengetahui tentang keberadaan Yahudi Khazar. Pada tahun 950-an, seorang tokoh Yahudi lainnya di Andalusia, Hasdai ibn Shaprut, telah mendengar tentang keberadaan kerajaan Yahudi Khazar yang terletak jauh dari tempat tinggalnya itu. Ia berusaha mengirimkan sebuah surat kepada penguasa Khazar untuk mendapatkan informasi lebih dalam. Upayanya yang pertama gagal dan suratnya hanya mencapai Konstantinopel. Tapi sebagai gantinya ia mendapatkan informasi tentang sejarah Khazar dari seorang Yahudi Khazar di Konstantinopel melalui sebuah surat yang kini dikenal sebagai Schechter Letter. Surat itu menjelaskan bahwa bangsa Khazar dan Yahudi yang bermigrasi dari Armenia saling menikah satu sama lain dan menjadi bangsa yang satu.7
Upaya Hasdai yang berikutnya pada tahun 954 berhasil dan suratnya diterima oleh Raja Joseph yang memimpin Kerajaan Khazar. Balasan surat Raja Joseph diterima oleh Hasdai pada tahun berikutnya. Surat itu menjelaskan tentang konversi penguasa Khazar serta masyarakatnya ke dalam agama Yahudi hingga ke masa itu. Sejak menganut Yahudi, nama-nama penguasa Khazar sebagian besar mengadopsi nama-nama semitik, seperti Yitzhak, Benjamin, Aaron, dan juga Joseph.8
Ironinya, hanya satu dekade setelah korspondensi Hasdai tersebut, Kerajaan Khazar mengalami keruntuhan. Bangsa Rus menginvasi kerajaan tersebut pada tahun 960-an dan memporak-porandakan ibukotanya, Atil, pada tahun 967/968. Kerajaan tersebut tampaknya masih bertahan setidaknya sampai setengah abad berikutnya, tetapi kekuatannya semakin kecil dan akhirnya menghilang dari sejarah. Kemunduran kerajaan ini mendorong bangsa Khazar melakukan migrasi ke beberapa wilayah Eropa Timur, seperti Hunggaria, Polandia, di samping yang tetap bertahan di tempat asalnya di bawah pemerintahan bangsa lain. Mereka kemudian terasimilasi ke dalam masyarakat tempat mereka tinggal, terutama dalam komunitas Yahudi setempat. Sekarang ini, kita tidak mendengar lagi adanya negeri atau wilayah bernama Khazaria, bangsa bernama Khazar, atau bahkan sebutan Yahudi Khazar. Sebagian peneliti dan penulis kontemporer, seperti Arthur Koestler dalam bukunya The Thirteenth Tribe: Khazar Empire and Its Heritage, mengemukakan teori bahwa orang-orang Yahudi Eropa, atau yang dikenal sebagai Yahudi Askhenazi, sebetulnya merupakan keturunan Khazar, atau setidaknya banyak dipengaruhi oleh ras bangsa Khazar, dan bukan murni keturunan Israel. Dengan kata lain, kebanyakan orang-orang Yahudi sekarang ini dikatakan tidak berasal dari dua belas suku Israel, melainkan berasal dari ’suku yang ke-13,’ yaitu bangsa Khazar.
Perdebatan tentang asal-usul Yahudi Askhenazi ini menjadi penting mengingat kelompok Askhenazi mewakili 80% komposisi Yahudi dunia pada hari ini Teori asal-usul non-Yahudi pada kaum Askhenazi ini bukannya tanpa dasar sama sekali, terlebih lagi upaya dakwah dan konversi terhadap orang-orang non-Bani Israil di Eropa juga terjadi terhadap beberapa bangsa Eropa Timur selain Khazar.9 Teori ini telah menggugat klaim orang-orang Yahudi kontemporer terhadap tanah Palestina dan melemahkan legitimasi mereka untuk terus menguasai wilayah tersebut. Sebab sekiranya mereka bukan keturunan Bani Israil yang dulu pernah mendiami Palestina, maka atas alasan apa mereka mengklaim hak untuk kembali ke sana? Teori ini tentu saja menimbulkan rasa tidak suka di kalangan orang-orang Yahudi, khususnya para pendukung Zionisme, yang melabeli para pendukung teori tersebut sebagai penganut anti-semitisme.
Belum lama ini seorang Profesor Sejarah di Tel Aviv University, Shlomo Sand, menulis sebuah buku berjudul The Invention of the Jewish People (terbit pertama kali dalam bahasa Ibrani pada tahun 2008 dan versi Inggrisnya terbit tahun 2009). Dalam buku tersebut ia juga mendukung pendapat yang menyatakan bahwa kebanyakan orang-orang Yahudi di Eropa Tengah dan Timur merupakan keturunan Khazar yang menganut yudaisme. Baginya tidak ada bangsa Yahudi (Jewish People), yang ada hanyalah komunitas-komunitas beragama Yahudi yang dikonversikan di sepanjang sejarah Yahudi. Lebih jauh ia menolak pendapat populer yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi telah diusir keluar dari Palestina dan karenanya wajib untuk kembali ke Palestina.
Menurutnya bangsa Romawi tidak pernah mengusir keluar orang-orang Yahudi dari Palestina dan orang-orang Yahudi sendiri tidak melakukan eksodus keluar dari wilayah itu. Kebanyakan orang-orang Yahudi tetap tinggal di Palestina, dan pada saat Islam masuk ke daerah itu kebanyakan mereka masuk Islam, berbaur dengan orang-orang Arab, dan menjadi nenek moyang orang-orang Arab-Palestina yang ada sekarang. Secara umum Shlomo Sand berpendapat bahwa ide tentang bangsa Yahudi merupakan kreasi (invention) para Sejarawan Yahudi abad ke-19 dan 20 yang menjadi sumbangan bagi Zionisme.10
Memang tidak mudah untuk memastikan apakah orang-orang Yahudi Askhenazi merupakan keturunan Khazar atau betul-betul berdarah semitik. Belakangan ini banyak dilakukan penelitian DNA oleh para ahli untuk melacak asal-usul biologis orang-orang Yahudi modern. Banyak dari studi ini menunjukkan bahwa secara paternal, orang-orang Yahudi yang ada sekarang memiliki asal usul genetis Timur Tengah. Kromosom Y (kromosom yang hanya diwarisi dari jalur bapak) yang ada pada mereka, mirip dengan yang dimiliki orang-orang Arab yang ada di Palestina, Lebanon, dan Syria.11Tapi hal ini tidak sepenuhnya menghapus kemungkinan adanya percampuran dengan ras non-Yahudi.
Penelitian DNA keturunan Yahudi Askhenazi yang dilakukan oleh Almut Nebel dan timnya menunjukkan bahwa walaupun secara genetik mereka lebih dekat dengan orang-orang Yahudi dan Arab di Timur Tengah, tetapi ada frekuensi R-M17 yang cukup tinggi (11,5%) pada kromosom Y mereka. R-M17 merupakan kromosom Y yang dominan di kalangan masyarakat Eropa Timur. Ini mungkin merepresentasikan adanya pengaruh genetik dari bangsa Khazar.12 Adapun dari jalur maternal, masih ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli genetik apakah kaum lelaki Yahudi yang bermigrasi ke Eropa menikah dengan perempuan setempat atau membawa serta pasangan-pasangan Yahudi mereka dari Timur Tengah.13 Secara umum dapat dikatakan bahwa penelitian DNA atas kaum Yahudi yang dilakukan dalam satu dekade terakhir ini, dan kebanyakannya dipimpin oleh para ilmuwan yang berbasis di Israel, menguatkan klaim orisinalitas semitik kaum Yahudi modern, walaupun tidak dalam artian ras yang murni.
Apakah orang-orang Yahudi, termasuk Yahudi Askhenazi, yang ada sekarang memiliki ras yang murni atau tidak bukanlah sesuatu yang terlalu penting. Sekiranya mereka memang keturunan Israil (Ya’qub ’alaihis salam), mereka tetap tidak berhak merampas tanah Palestina dan berlaku zalim terhadap penduduknya. Mereka justru seharusnya malu karena perilaku mereka sama sekali tidak menunjukkan kemuliaan nenek moyang mereka yang banyak melahirkan nabi-nabi dan orang-orang shalih. Dan sekiranya Yahudi Askhenazi ternyata memang kebanyakannya keturunan Khazar, dan bukan Bani Israil, seharusnya mereka lebih malu lagi, karena dusta yang telah mereka sebarluaskan demi merampas tanah orang lain. Tapi, apalah maknanya kalimat-kalimat ini bagi suatu bangsa yang memang tidak tahu malu. Wallahu a’lam bish showab.





Allahumma barik lana fi Rajab wa Sya’ban wa balighna Ramadhan. [Kuala Lumpur, 9 Rajab 1431/ 21 June 2010/hidayatullah.com]

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia

[1] Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Kelahiran hingga Detik-detik Terakhir (diterjemahkan dari al-Rahiiq al-Makhtuum), Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2004, hlm. 24. Dalam buku versi Indonesia ini disebutkan bahwa Dzu Nuwas adalah seorang berdarah Yahudi. Kami kira terjemahan yang lebih tepat adalah ia merupakan seorang yang menganut agama Yahudi, berbeda dengan bangsa Yahudi yang ada di Madinah misalnya.
[2] Lihat Alwi Alatas, Sang Penakluk Andalusia: Tariq ibn Ziyad & Musa ibn Nusayr, Jakarta: Zikrul, 2007, hlm. 20.
[3] Terjemahan laporan perjalanan Tamim ibn Bahar. V. Minorsky, ’Tam?m ibn Bahar’s Journey to the Uyghurs’ dalam Ian Richard Netton (ed.), Islamic and Middle Eastern Geographers and Travellers: Critical Concepts in Islamic Thought, vol. 1, London: Routledge, 2008, hlm. 105. Lihat juga Kevin Alan Brook, The Jews of Khazaria, Lanham: Rowman & Littlefield Publishers., Inc., 2004, hlm.135
[4] Basil Anthony Collins, Al-Muqaddasi: The Man and His Work with Selected Passages Translated from the Arabic, Michigan: The University of Michigan, Ph.D., 1973, hlm. 224; Ibrahim Showket, Arab Geography Till the End of the Tenth Century, (disertasi), Michigan: University Microfilms International (UMI), 1987, hlm. 69. Penguasa Khazar pada masa ini tentu saja belummenganut agama Yahudi.
[5] Judith Gabriel, “Among the Norse Tribes: The Remarkable account of Ibn Fadlan” dalam Ian Richard Netton (ed.), Islamic and Middle Eastern Geographers and Travellers: Critical Concepts in Islamic Thought, vol. 1, London: Routledge, 2008, hlm. 149.
[6] Lihat kutipan dari literatur-literatur Muslim dan lainnya tentang ini dalam Brook, hlm. 137-141.
[7] Ibid., hlm. 129.
[8] Ibid. hlm. 131-133.

[9] Untuk ini lihat misalnya ibid., hlm. 247-259.
[10] Lihat antara lain Anita Shapira, “Review Essay: The Jewish-people deniers,” The Journal of Israeli History, Vol. 28, No. 1, March 2009, 63-72. Dirujuk melalui http://www.isracampus.org.il/Extra%20Files/Anita%20Shapira%20-%20Shlomo%…. Buku Shlomo Sand menimbulkan pro-kontra di kalangan akademisi. Artikel Shapira yang kami rujuk di sini termasuk yang mengkritisi gagasan Sand di atas.
[11] Nicholas Wade, “Y Cromosome Bear Witness to Story of Jewish Diaspora” NYTimes.com, 9 May 2000. Lihat juga artikel M.F. Hammer, et.al. pada “Jewish and Middle Eastern non-Jewish Populations Share a Common Pool of Y-Chromosome Biallelic Haplotypes,” Proceeding of the National Academy of Sciences of the United States of America, 2000 June 6, 97(12), dirujuk melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC18733/?tool=pmcentrez
[12] Almut Nebel, et.al., “Y chromosome evidence for a founder effect in Askhenazi Jews,” European Journal of Human Genetics (2005) 13, 388–391, dirujuk melalui http://www.nature.com/ejhg/journal/v13/n3/full/5201319a.html. Lihat juga penelitian Doron M. Behar, et.al. “Multiple Origins of Askhenazin Levites: Y Cromosome Evidence for both Near Eastern and European Anchestries,” dalam http://www.familytreedna.com/pdf/400971.pdfpada tahun 2003 yang menunjukkan tingginya haplopgroup (lebih dari 50%) non-Timur Tengah pada kromosom Y kelompok Levi Askhenazi. Ini menunjukkan adanya pengaruh genetik Eropa yang sangat tinggi pada kelompok tersebut. Levi merupakan salah satu keluarga elit Yahudi, selain Cohen, yang mengambil nasab dari jalur bapak, bukan ibu. Bagaimanapun, persentase Levi hanya sekitar 2% dari keseluruhan jumlah orang-orang Yahudi dunia.
[13] Untuk ini lihat Nicholas Wade, “New Light on Origins of Askhenazi in Europe,” NYTimes.com, 14 Januari 2006.

Editor: Cholis Akbar
Rep: Admin Hidcom
Sumber : https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2010/06/23/310/bangsa-khazar-dan-teori-suku-yahudi-ke-13.html