Berikut sekilas tentang perjuangan Buya Hamka: Haji Abdul Malik Karim
Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan
namanya, (lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17
Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun)
adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku,
atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin
Amrullah, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau,
sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan
takhayul, bid'ah dan khurafat serta dan kebatinan sesat di Padang
Panjang.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi
anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato
dan perang gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai
Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu
ketika Soekarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau
bergiat dalam politik Masyumi.
Hamka pun menjadi anggota Konstituante Masyumi. Tapi kemudian,
Masyumi diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun
1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena
dituduh pro-Malaysia.
Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali
melantik Hamka sebagai ketua umum MUI, tetapi beliau kemudiannya
mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya soal larangan ucapan
selamat Natal tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Semasa hidupnya, Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada
peringkat nasional dan internasional seperti anugerah kehormatan Doctor
Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958, dan Doktor Honoris Causa,
Universitas Kebangsaan Malaysia (1974).
Buya Hamka pernah dipenjara oleh Soekarno, selama 2 tahun 4 buan (20
Agustus 1964-23 Januari 1966). Selama di penjara itulah, Buya
menghasilkan karya monumental, yakni “Tafsir Al-Azhar. Selama di penjara
pula Buya mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 150 kali.
Ulama yang Jurnalis
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan
seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an,
Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932,
beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar.
Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji
Masyarakat, dan Gema Islam.
Di Medan, Buya Hamka pernah menjadi Hoof Redaktur majalah Pedoman
Masyarakat dengan tiras 5.000 eksemplar. Berbekal dari sini, Panji
Masyarakat pun didirikan dan langsung dinahkodainya, walau mengalami
pasang surut karena dibreidel oleh Soekarno, lantara memuat kritikan
Mohammad Hatta yang menulis tentang “Demokrasi Kita”. Majalah ini di
masa Orde Baru diizinkan kembali terbut dan beliau tetap menjadi
pemimpin redaksinya hingga menjelang wafat tahun 1981.
Saat peralihan dari Soekarno ke Soeharto, Buya didatangi oleh Letnan
Jenderal Sudirman dan Muchlas Rowi untuk menghidupkan kembali majalah
Islam dengan nama lain “Gema Islam”, kendati isinya tetap seperti Panji
Masyarakat yang dibreidel Soekarno ketika itu. Tujuannya adalah untuk
mengimbangi propaganda kaum Komunis yang mengusung Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) yang mengajarkan konsep atheis.
Sekalipun Buya Hamka tidak didudukkan sebagai Pimpinan Redaksi, tidak
jadi soal, karena ini adalah strategi untuk memuluskan dua kepentinga,
yaitu: menyelamatkan umat Islam dan angkatan darat yang sama-sama
berkolaborasi menyelamatkan bangsa dalam melawan komunisme saat itu.
Ternyata yang puny aide dan yang membiayai penerbitan Gema Islam ini
adalah Jenderal Abdul Haruis Nasution sendiri yang waktu itu menjabat
sebagai KASAD.
Saat itu, kaum komunis berada di atas angin dan berupaya mengucilkan
peranan ulama Islam. Buya Hamka yang mewakili budayawan Islam juga
diserang martabatnya oleh organisasi kebudayaan PNI, yaitu Lembaga
Kebudayaan Nasional. Harian Bintang Timur yang merupakan corong komunis
mencaci maki Buya Hamka soal bukunya “Tenggelamnya Kapal Vanderwijk”.
Berbulan-bulan lamanya beliau dituduh sebagai plagiator karya sastra.
Setelah itu Buya ditangkap, bukan lagi soal sastra atau soal dakwahnya,
melainkan karena kena UU Anti-Subversif, yaitu tuduhan mengadakan
komplotan hendak membunuh presiden Soekarno.
Hadirnya Gema Islam sebelum beliau ditangkap, telah memupuk rasa
keislaman umat saat itu. Wartawan Tiga Zaman Rosihan Anwar mencatatnya
dalam kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. Rosihan menuturkan, bahwa
dengan terbitnya Gema Islam itu telah mengumandang dengan santer dakwah
Islamiyah. Ia melihat posisi kedudukan umat Islam saat itu terdesak dan
terjepit. Secara politik Partai Komunias Indonesia (PKI) sedang mendapat
angin dari Soekarno, dan mereka tidak ingin mengabaikan kesempatan
untuk mengucilkan golongan Islam dari gelanggang politik nasional.
Ada yang menarik dari Buya Hamka, soal pelurusan sejarah masuknya
Islam ke Nusantara. Ia punya pandangan lain. Beliau mengatakan, Islam
masuk bukan di abad pertengahan dan bukan pula dari India. Justru pada
abad VI atau ke-VII dan langsung dari Hijaz atau Arab. Kalau ada yang
mengatakan dari India, maka bisa saja sejarah itu disimpangkan
orientalis untuk kepentingan sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar