Selasa, 15 November 2016
Jumat, 11 November 2016
Benturan Dua Pemikiran Dalam Islam
Sebagian isi skripsi
yang belum jadi.
Dalam tulisan sebelumnya
telah dibahas dua kelompok pemikiran dalam Islam tentang konsep negara Islam di
masa kontemporer ini. Dalam sejarah, benturan pemikiran politik Islam sudah
terjadi sejak awal peradaban Islam. Bermula dari persaingan antara dua kabilah
Quraish yaitu Bani Hasyim yang menurunkan Bani Abbasiyah, dan Bani Abdus Syams yang menurunkan Bani Umayyah. Ketika khalifah Utsman mengangkat beberapa
kerabat dalam pemerintahannya sehingga menumbuhkan kecemburuan disebagian ummat
Islam ,dan beberapa isu yang disebar oleh Abdullah bin Saba’ tentang keharusan
Ali bin Abu Thalib sebagai pewaris pemerintahan Islam setelah Rasulullah saw.
Hingga terbunuhnya Khalifah Utsman ra.
Kemelutpun memuncak dalam perebutan kekuasaan setelah pengangkatan Khalifah
Ali ra dengan Muawiyah bin Abu Sofyan dalam perang Shiffiin, meskipun akhirnya
ada usaha untuk berdamai di kedua belah pihak dengan proses tahkim
antara Khalifah Ali ra dan Muawiyah ra setelah terjadinya perseteruan politik.
Namun perbedaan pendapat tentang tahkim bermunculan kemudian melebar ke masalah
aqidah. Beberapa pandangan lahir ketika menafsirkan al-Quran dan al-Hadits
dalam menyikapi peristiwa tahkim. Beragam pemikiranpun berkembang mewarnai
khasanah keilmuan dalam sepanjang sejarah peradaban Islam hingga dewasa ini.
Namun, tidak jarang benturan antar pemikiran sering diwarnai oleh konflik yang
berkepanjangan hingga saat ini, seperti halnya konflik Sunni – Syi’ah.Dimasa
modern ini dinamika pemikiran Islam semakin kompleks seiring dengan
persinggungan Islam dengan berbagai macam budaya, khususnya pemikiran yang
lahir dari budaya barat, seperti liberalisme sekuler dan komunisme
atheisme. Kedua paham ini saling mempengaruhi dan bersaing untuk
mendominasi dunia. Komunisme-atheis memiliki banyak kesulitan untuk bisa
berkolaborasi dengan Islam dari pada paham liberalisme-sekuler yang lebih
elegan dalam mempengaruhi pemikiran Islam. Pemikiran Islam masih bisa duduk
bersama dengan liberalisme-sekuler karena masih mengakui keberadaan tuhan, hal
ini berbeda dengan komunisme-atheis yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan.
Sehingga kolaborasi antara Islam dengan liberalisme-sekuler ini melahirkan
perpaduan pemikiran yang jauh berbeda dengan tradisi keilmuan Islam sebelumnya,
sehingga islam liberal memiliki karakteristik pemikiran yang yang unik dan
khas. Tapi, Problem krusialnya ada dalam bagaimana Islam liberal ini
menafsirkan al-Qur’an dan al-Hadits dalam tafsiran bebas yang keluar dari kaidah
tafsir dalam Islam sebelumnya.
liberal sekuler ini IslamIslamIslam.
Berkenaan dengan masalah ini, Quraish Shihab menuliskan pendapat gurunya ketika
belajar di Mesir ;
Ide ini masuk pada
pemikiran sebagian cendekiawan kita saat dan setelah berlangsungnya konflik
yang berkepanjangan selama bertahun tahun antara sains dengan gereja, atau
dengan kata lain antara ilmuwan versus agamawan di Eropa. Sebab pokoknya adalah
gereja saat itu mengklaim bahwa agama dan ilmu pengetahuan berada dalam
wewenangnya. Karena itu setiap orang yang yang mengemukakan pandangan-pandangan
agama atau ilmiah yang tidak sejalan dengan penafsiran gereja, maka mereka itu
dikecam, bahkan dituduh memberontak dan murtad.[1]
Sedangkan Islamperbedaan pemikiran antara kaum intelektual dengan para fuqoha
tidak sampai pada konflik berdarah-darah. Islam IslamIslam memberikan kebebasan
kepada akal untuk berfikir, sehingga tidak ada seorang ulama’ yang melakukan
pembantaian terhadap ummatnya karena perbedaan pemahaman Islam. Islammeraih meskipun diwarnai dinamika politik yang
komplek disetiap generasi.
yang dikorelasikan IslamIslamIslamIslamIslamIslamIslamLiberalisme dan sIslam.
Perpaduan antara pemikiran liberalisme-sekuler dengan Islam, melahirkan
pemikiran yang bebas dari kaidah-kaidah atau metode ijtihad yang sudah
dirumuskan oleh ulama terdahulu. Penerimaan liberalisasi pemikiran dalam Islam
tentu saja berdampak pada penafsiran sumber pokok ajaran Islam itu sendiri dalam
menghadapa problem kontemporer, sehingga melahirkan sebuah penafsiran yang
liberal atas al-Quran dan al-Hadits seperti yang dilakukan oleh M. Shahrur,
yang melakukan pembaharuan terhadap ayat-ayat hukum dengan mengesampingkan
wahyu dan menjunjung superioritas akal atas wahyu.[2]
Seyyed Hossein Nasr, mengemukakakan konsep Abraham Faits yang didukung
oleh para pengusung paham Pluralisme, ia mempopulerkan gagasan Transendent
Unity of Religions (kesatuan transenden agama-agama).[3]
Hamid abu Zaid, mengembangkan teori tentang teks al-Qur’an yang dikaitkan
dengan bahasa dan budaya, yaitu dengan menghilangkan dimensi ilahiyah teks
al-Qur’an tersebut.[4] Muhammad
Arkoun dengan kritik nalar Islamnya ia berargumen bahwa nalar Islam yang saat
ini mendominasi ummat Islam, dibangun oleh para alim ulama atas dasar
interpretasi doktriner dan kebutuhan politis untuk mengontrol penafsiran atas
wahyu dan maknanya.[5] Dalam
pandangan Islam fundamental penafsiran al-Qur’an yang bebas liberal dengan
mengesampingkan tradisi ilmu tafsir al-Qur’an mainstreem, menyamakan al-Quran
dengan tulisan-tulisan biasa pada umumnya, akan mengurangi kesucian dari
al-qur’an itu sendiri.
Akibatnya muncul penolakan terhadap pemikiran liberal-sekuler ini sebagai
prinsip dasar demokrasi. Dalam wacana politik nasional pasca
kemerdekaan di Indonesia, Negara IslamIslam menjadi perdebatan yang sangat
panjang oleh para founding father negara ini yang mewakili sebagian umat
IslamIslam, dimana secara politis berjuang mendirikan Negara IslamIslam dan
menganggap demokrasi liberal sangat lemah dan bersifat kompromis, suatu konsep
yang hanya relevan bagi masyarakat sekuler (yang terbaratkan), yang dianggap
sangat kurang sempurna secara moral dan tidak dapat diterima.[6]
Perdebatan ini terlihat jelas dalam proses perumusan konstitusi Negara
Indonesia pada waktu itu.
Akhirnya pada tanggal 22
Juni 1945 lahirlah Piagam Jakarta sebagai sebuah kesepakatan bersama. Menurut
Abdul Haris Nasution, menceritakan bahwa penyususnan Piagam Jakarta tidak lepas
dari adanya 52.000 surat yang dikirimkan oleh para ulama se-Indonesia ke Djawa
Hokokai. Panitia Sembilan yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang menandatangani racangan Undang-Undang Dasar
negara RI, yang terdiri dari 9 orang yaitu; Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad
Yamin, Achmad Soebardjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Wahid
Hasyim, Haji Agus Salim, dan A.A. Maramis, [7]
Tapi, kesepakatan ini
tidak bertahan lama, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada
tanggal 18 Agustus 1945, terjadilah sandiwara penghapusan tujuh kata dalam sila
pertama yang sangat kontroversial. Perubahan ini memunculkan berbagai reaksi
keras dari kelompok Islam. Perbedaan tentang ideologi negara dan bentuk negara
menjadi perdebatan yang sangat krusial dalam parlemen. Salah satu tokoh Islam yang
begitu tegas mempertahankan ide kesatuan agama dengan negara adalah Mohammad
Natsir, beliau berpendapat bahwa;
Islam datang membawa beberapa aturan tertentu untuk
mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur (peny; makmur), dan
boleh menjadi wasilah (sarana) yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan
hidup manusia yang berhimpun didalam negara itu, untuk keselamatan diri dan
masyarakat, untuk kesentosaan perseorangan dan untuk kesentosaan umum.[8]
Selama masa orde lama
dan orde baru, Pancasila hanya digunakan sebagai alat legitimasi bagi penguasa
untuk menekan kelompok IslamIslam. Pancasila ditafsirkan secara sekular dan
dimonopoli maknanya oleh penguasa untuk kemudian digunakan sebagai alat politik
menumpas aspirasi IslamIslam[9].
Menurut Robertus Robet :
Di masa
Orde Baru, Pancasila dan persatuan Indonesia melahirkan represi dan ancaman
yang berimplikasi pada distorsi kebajikan luhur (noble virtue)
Pancasila. Persatuan yang mengandaikan perbedaan dan demokrasi diubah lebih
sebagai persatuan berdasarkan kehendak yang terpusat pada sistem kekuasaan.
Akibatnya, Pancasila berubah: bukan lagi sign of unity melainkan sign
of authority (simbol kekuasaan).[10]
Pancasila sebagai
ideologi politik yang dalam kelahirannya tidak bisa dipisahkan dari pemahaman
ummat Islam yang dinamis, dikemudian hari justru menjadi bumerang bagi Islam
Politik. Ketika ajaran-ajaran dan doktrin Pancasila ditafsirkan secara sepihak
oleh penguasa sebagai dasar pembenaran kekuasaannya. Pancasila dijadikan
sebagai sistem kepercayaan yang akan dapat memperkokoh kedudukan penguasa atau
golongannya. Yang lebih menyedihkan lagi, IslamIslam politik seringkali menjadi
sasaran tembak ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi negara Pancasila.
Menurut Robert A. Dahl yang di kutip oleh Soerjono Soekanto ;
Penguasa-penguasa dalam masyarakat, biasanya
mengemukakan serangkaian ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin, yang bertujuan
untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan
kekuasaannya. Hal itu dilakukan supaya kekuasaan dapat menjelma menjadi
wewenang. Setiap penguasa akan berusaha untuk dapat menerangkan ideologinya
tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga institutionalized dan bahkan internalized
dalam diri warga masyarakat.[11]
Dalam masa Orde Lama,
tokoh Islam seperti Moehammad Roem, Ki Bagus Hadikoesoemo, Prof. Kasman
Singodimedjo. Deliar Noer, Melakukan kritik perlawan ideologis ketika Pancasila
ditafsirkan ke arah sekuler atau bahkan ke arah komunis. Ide NASAKOM mendapat
tantangan keras dari sebagian ummat Islam yang digerakkan oleh partai MASYUMI
(Masjelis Syuro Muslimin Indonesia). Masyumi sebagai partai yang gigih
menyampaikan aspirasi umat Islam akhirnya dibubarkan oleh Soekarno. Hingga
dalam perjalanannya, pertarungan indeologis ini tidak hanya dalam perang
pemikiran, tetapi ada sekelompok Islam yang melakukan perlawanan senjata pasca
kemerdekaan yang berusaha mendirikan negara Islam dan menerapkan syariat Islam.
Seperti yang dilakukan oleh S.M. Kartosuwiryo dengan pasukannya DI / TII.
Hingga sampai S.M. Kartosuwiryo dieksekusi mati oleh sahabat seperguruannya
sendiri yaitu Soekarno pada tahun 1962.
Setelah tahun 1960 mulai
bersemi ide Pembaharuan Pemikiran Islam yang dipelopori oleh Nurcholis Madjid
sebagai ketua HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pada waktu itu secara resmi
menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam dan Juga proses
Liberalisasi.[12] Sebagai
suatu ide baru untuk menjembatani antara “Islam” dan “sekularisme”. Akan tetapi
Ide ini mendapat tantangan keras dan kritik pemikiran dari HM Rasjidi di era
tahun 1970-an. Sedangkan di tahun 1990-an
Endang Syaifudin Anshari mengkritik ide Nurcholis Madjid yang di kutip
oleh Abdul Qadir Djaelani ;
Berbicara tentang sekularisasi mau tidak mau mesti
mengacu pada sekulerisme. Historis sekulerisme timbul di Barat sebagai reaksi
terhadap Kristenisme pada akhir abad pertengahan. Sekulerisme adalah paham yang
menyingkirkan nilai-nilai Illahi (agama wahyu) dalam persoalan dunia, negara,
dan masyarakat.[13]
Kemudian di masa Orde
Baru Ide sekularisasi Nurcholis Madjid semakin berkembang didukung dengan
pemerintah Soeharto yang gencar-gencarnya melakukan sekularisasi dan
depolitisasi Islam. Dan didukung pula oleh peran lembaga CSIS (Center for
Strategic and International Studies) sebagai lembaga think tank yang
memiliki peran penting dalam pemerintah Soeharto. Lembaga ini didirikan oleh
Ali Moertopo pada tahun 1970.
Salah satu strategi yang
berhasil dilakukan oleh lembaga CSIS adalah pelarangan PKI, sebagai bentuk
upaya penyelewengan Pancasila ke arah Marxisme-Leninnisme dan Komunisme. Begitu
juga menghalau pancasila ke arah Islam, dengan memasukkan Piagam Jakarta
sebagai dokumen Hukum.[14]
Kemudian lahirnya ide asas tunggal Pancasila, yang menjadi alat legitimasi
negara untuk menekan kelompok Islam politik. NU dengan berat hati menerima asas
tunggal pancasila, namun tidak sedikit umat Islam yang menolak.
Asas tunggal Pancasila
ini mendapat perlawanan keras dari sebagian ummat Islam bahkan menggema di
masjid-masjid. BABINSA menjadi alat intelijen pemerintah untuk mengintai
kegiatan ummat Islam. Puncaknya, meletuslah tragedi tanjung Priok tahun 1984
yang menjadi catatan kelam ummat Islam di masa Rezim Soeharto.[15]
Sehingga permasalahan ideologi Pancasila ini semakin meruncing di kalangan umat
Islam. Dengan menyebut Pancasila sebagai Thoghut yang harus di lawan.
Moehammad Natsir sebagai
mantan perdana menteri pertama Indonesia, beliau adalah pencetus Mosi Integral
Natsir, yang merubah Republik Indonesia Serikat (RIS), menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Beliau mengkritik Asas Tunggal Orde Baru pada
tanggal 1 Maret 1985, yang berjudul Tepatkan Kembali Pancasila Pada
Kedudukannya Yang Konstitusional, beliau berpendapat bahwa; gagasan
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua kekuatan sosial
politik, berarti merubah makna dan fungsi Pancasila yang sebenarnya.[16]
Peringatan keras yang disampaikan Natsir dan Deliar Noer kepada pemerintah Orde
Baru ini berakibat pencekalan dan dicap sebagai “Pembangkang”. Karena menentang
ideologisasi Pancasila dan Pengeramatan Pancasila.
Setelah masa reformasi
kritik terhadap pemikiran Liberalisme sekuler ini terus berlanjut tepatnya pada
tahun 2000 oleh Adnin Armas dan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, dan
sebagainya. Yang tergabung dalam INSISTS (Institut for the Study of Islam
Thought And Civilizations) yang memiliki akar tradisi kuat dengan
gagasan-gagasan pemikir Islam Indonesia masa lalu seperti KH Hasyim Asy’ari, H.
Agus Salim, Hamka, Mohammad Natsir, Prof. Kasman Singod
Islamdewasa ini IslamIslamIslamIslamSementara
al-Qaida yang dipimpin oleh Osama bin Laden tidak pernah mengakui bahwa
pihaknya yang menjadi dalang atau pelaku utama dalam tragedi WTC 2001. Namun,tetap
tanpa dukungan dari Negara-negara dalam
Dewan Keamanan PBBTindakan Amerika yang di aminkan negara barat lainnya
(termasuk Rusia) terhadap sejumlah negara muslim dimana mereka ingin berdaulat
, dengan caranya sendiri dilakukan tindakan secara sepihak, ini terjadi atas
pemerintahan Taliban di Afghanistan, Libya, Irak, Iran, serta Rakyat Palestina
dan sejumlah gerakan Islam yang menuntut kemerdekaan seperti kelompok pejuang
Hamas, kelompok pejuang Checnya di Rusia, Moro di Filipina, Pathani di Thailand
selatan. Semua ini menunjukkan kenyataan bahwa akan ada pertentangan yang tidak
akan pernah selesai antara Barat dan Islam, selama ketidakadilan itu
berlangsung.[17]
Di beberapa negara Amerika melakukan Economic Hit Man (EHM) sebagai
usaha mengeruk sumberdaya alam dan menghancurkan negara lain. Bahkan jika hal
itu tidak berhasil maka dilakukan oprasi the Jackals (kumpulan srigala)
dalam hal ini CIA untuk melakukan sampai tahap tindakan assassination
(pembunuhan) atau menggoyang pemerintahan seperti yang terjadi di Ekuador. Jika
belum berhasil seperti halnya yang terjadi pada Saddam Husain dan Osama bin
Laden yang tak mampu dibunuh oleh the jackals yang terjadi adalah dengan
penyerangan wilayah secara militer.[18]
Selain itu Amerika menggelontorkan dana besar untuk diberikan kepada
lembaga-lembaga NGO (Non Govermental Organization) atau LSM dalam upaya
mempertahankan pengaruhnya terhadap negara-negara lain. Keberadaan lembaga non
pemerintah tersebut juga sebagai pion dalam proxy war yang didukung juga
dengan media masa sebagai pembentuk opini publik. Menurut Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI, Agus Sutomo, S.E ;
Proxy war tidak melalui kekuatan militer, tetapi perang melalui
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik melalui politik, melalui
ekonomi, sosial budaya, termasuk hukum. Dalam proxy
war, tidak bisa terlihat siapa lawan dan siapa kawan. “Dilakukan non state actor, tetapi
dikendalikan pasti oleh sebuah negara,” Indikasi proxy war di Indonesia, antara lain adalah
gerakan separatis dan gerakan radikal kanan/kiri, demonstrasi massa anarkis,
sistem regulasi dan perdagangan yang merugikan, peredaran narkoba, pemberitaan
media yang provokatif, tawuran pelajar, bentrok antar kelompok, serta
penyebaran pornografi, seks bebas, dan gerakan LGBT. [19]
Indonesia sebagai masyarakat majemuk sangat mungkin menjadi arena benturan
pemikiran antar ideologi yang mewakili beberapa negara besar di dunia. Barat
sebagai induk dari ideologi demokrasi liberal ikut andil dalam perebutan
pengaruhnya di Indonesia. Melalui beberapa NGO (non goverment organization)
yang ada di dalam negeri untuk melakukan propaganda terhadap masyarakat
Indonesia agar tidak terpengaruh oleh kelompok-kelompok Islam fundamental yang mungkin
mengancam kepentingan Barat atau AS di Indonesia. Agenda Barat ini didukung
oleh kelompok Islam liberal yang memiliki kecenderungan mendukung dominasi
barat terhadap negeri-negeri Islam. dukungan ini diberikan atas kesamaan
ideologis untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, yang menjunjung tinggi
nilai-nilai liberalisme, HAM, Toleransi dan Pluralisme.
Selain itu, Barat dan Islam liberal kaitanya
dalam penegakan syariat IslamIslam oleh Negara, Menurut Farag Fouda seorang
pemikir Islamliberal mesir, ia menyatakan bahwa,
Syariat Islam
sendiri tidak akan berwujud dan terejawantah kecuali di dalam masyarakat yang
benar-benar Islami. Atau dalam
makna yang lebih dalam, dalam negara agama. Namun negara seperti ini tetap
membutuhkan agenda politik yang mampu mengemukakan perincian dan pendasaran
terhadap sesuatu yang masih umum atau pun terlalu khusus. Mereka pasti akan
kesulitan untuk menyiapkan agenda seperti ini, apalagi mengemukakannya kepada
anda. Mereka sebetulnya hanya ingin lari dari kenyataan dengan cara menyeru
kita untuk menerapkan syariat IslamIslam yang hanya akan membawa kita kepada
negara agama yang teokratis. Negara seperti ini hanya akan membuat kita limbung
untuk bergerak ke kanan atau ke kiri, tanpa adanya mercusuar yang akan memandu
kita dengan gagasan-gagasan dan ijtihad yang mencerahkan. Kita hanya diajak
pasrah menerima apa yang akan terjadi. Terserahlah apa yang akan terjadi pada IslamIslam.
Kita hanya menyerahkan jasad kita untuk mereka injak.[20]Dalam formalisasi Syariat Islam, Gus Dur juga
menolak ideologisasi Islam. Bagi Gus Dur sebagai tokoh yang lahir dari
tradisionalis Nahdliyin tapi memiliki pemahaman Islam yang moderat, meskipun
juga ada beberapa kalangan yang menyebutnya sebagai golongan Islam liberal,
karena memiliki kedekatan dan persamaan pemikiran dengan kelompok liberal di
Indonesia, beliau berpendapat bahwa:
Ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan
Islam di Indonesia, yang dikenal dengan “negerinya kaum Muslim moderat”. Islam
di Indonesia, menurut Gus Dur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak
berbaju ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam mudah
mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran
tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari
ideologisasi Islam adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah
kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Juga langkah-langkah
sejumlah pemerintah daerah dan DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah
berdasarkan “Syari’at Islam”. Menurut Gus Dur, upaya-upaya untuk
“meng-Islamkan” dasar negara dan “men-syari’atkan” peraturan-peraturan daerah
itu bukan saja a-historis, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945. Mengutip pendapat mantan Hakim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya
syari’atisasi semacam itu menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil
al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan).[21]
Penolakan Gus Dur
terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi itu mendorongnya untuk
tidak menyetujui gagasan tentang negara Islam. Seperti sudah sering
dinyatakannya, Gus Dur secara tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini
idasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at)
tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Gus Dur mengklaim, sepanjang
hidupnya ia telah mencari dengan sia-sia makhluk yang bernama negara Islam itu.
“Sampai hari ini belum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada kesimpulan
bahwa Islam memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana negara dibuat dan
dipertahankan”.[22]
Sebenarnya sekularisme
itu adalah pemisahan secara relatif antara agama dan negara. Agama dan negara
itu merupakan dua pilar yang dapat mewujudkan toleransi dalam masyarakat. Agama
bisa memberikan nilai kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi lebih
toleran. Sementara tugas negara adalah memberikan perlindungan kebebasan
beragama. Hanya negaralah yang bisa memberikan perlindungan itu secara efektif.
Dan itu ditegaskan oleh konstitusi. Karena itu sekularisme berusaha agar jangan
sampai dua kekuatan (negara dan agama) berkolaborasi—menjadi “negara agama”
atau “agama negara”. Karena risikonya akan sangat tinggi. Di satu pihak negara
mempunyai kekuasaan melalui segala aparatusnya; di lain pihak agama juga
mempunyai suatu kekuasaan, melalui doktrin-doktrinnya yang otoritatif. Kalau
dua kekuatan ini berintegrasi, maka akan menimbulkan kekuasaan otoritarian yang
sangat kuat, yang dalam sejarah pernah menimbulkan pengalaman traumatis seperti
yang terjadi di Eropa, yaitu penindasan terhadap kelompok-kelompok yang
berbeda.[23]
Pemisahan antara agama
dan politik dalam sekularisasi berkait erat dengan pemisahan antara ruang
privat dan publik dalam liberalisme, yang menjunjung tinggi kebebasan individu,
kebebasan politik dalam partisipasi demokratis, kesamaan antar manusia, dan pluralisme.
Dalam konteks pluralisme, liberalisme dikaitkan dengan kebebasan berekspresi
dan kebebasan menganut bentuk-bentuk kehidupan tertentu. Liberalisme pun
menegaskan: setiap pengambilan kebijakan publik harus dipisahkan antara
problem-problem yang menyangkut publik secara luas (tanpa membedakan agama,
etnisitas, dan orientasi politik) dengan bentuk-bentuk kehidupan spesifik.
Itulah yang disebut sebagai the problem of justice. Maka, model ideal
yang lebih tepat untuk Indonesia adalah masyarakat demokratis, pluralistik, dan
multikultural yang diwadahi oleh budaya Islam yang moderat, liberal, dan
toleran.
Penerapan sistem politik demokrasi pada negara yang mayoritas muslim
menjadi diskusi panas yang tak pernah usai dalam diri Islam fundamental ataupun
antara Islam fundamental dengan Islam liberal.
Revivalisme Islam yang
dikemukakan R. Hrair Dekmejian untuk memotret gerakan kebangkitan Islam
kontemporer. Sebagaimana konsep yang diutarakannya, revivalisme Islam sangat
tidak seragam, tidak tunggal dan bertingkat-tingkat. Revivalisme Islam meliputi
gerakan Islam dari yang a-politis hingga yang politis, dari yang berfaham
teologi moderat hingga yang radikal.[24]
Namun secara umum kelompok Islam fundamental sering dinisbatkan kepada
gerakan kebangkitan Islam. Untuk lebih mudahnya kita bisa melihat bagan dari
beberapa kelompok pemikiran dalam menyikapi demokrasi menurut Samuel P.
Hautington dalam bukunya yang berjudul Gelombang Demokratisasi Ketiga,
yang terbit pertama kali pada tahun 1991, dijabarkan ada beberapa kelompok
sikap terhadap demokrasi, salah satu yang menentang adalah kelompok
Fundamental, Ekstrimis, Radikal ;
Sikap Terhadap Demokrasi [25]
Menentang
|
Mendukung
|
Menentang
|
|
Pemerintah
|
Konservatif
|
Kelompok
pembaharu
Demokratis
Liberal
|
|
Oposisi
|
Fundamental, Ekstrimis
Radikal
|
Kelompok Islam Liberal selalu berada pada posisi mendukung demokrasi,
sistem politik demokrasi merupakan suatu bentuk sistem politik modern yang
didalamnya terkandung nilai-nilai toleransi, hak asasi manusia, pluralisme, egaliterianisme,
sekulerisme dan kebebasan. Adalah sebuah nilai pokok untuk mewujudkan
masyarakat yang berperadaban. Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan
alternatif dalam berbagai tatanan aktifitas bermasyarakat dan bernegara di
beberapa negara seperti diakui oleh Moh. Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia:
Ada dua alasan
dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama,
hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai sebuah sistem
yang fundamental; kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial
telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara
sebagai organisasi tertingginya. Secara bahasa demokrasi berasal dari kata demos-cratein atau demos-cratos adalah keadaan negara dimana di dalam sistem
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat.[26]
Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga
hal: pertama, pemerintahan dari rakyat (goverment
of the people); kedua pemerintahan oleh rakyat (goverment by people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat (goverment for people). Jadi hakikat
pemerintahan yang demokratis bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan
ditegakkan dalam tata pemerintahan.[27]
Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang
diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan mayoritas rakyat. Pemerintahan
dari rakyat artinya adalah pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate goverment) dimata rakyat,
pemerintahan yang mendapat pengakuan dan didukung oleh rakyat. Legitimasi bagi
suatu pemerintahan sangat penting karena dengan legitimasi tersebut,
pemerintahan dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai
wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.[28]
Oleh karena itu, patisipasi politik warga negara sangat penting dalam negara
demokrasi. Sehingga diharapkan akan menghasilkan hukum, undang-undang dan
kebijakan sesuai kehendak mayoritas rakyatnya.
Demokrasi, sudah menjadi sistem politik yang dikenal sebagai sistem politik
modern dan diterapkan diberbagai negara. Namun penerapan demokrasi diberbagai
negara tidaklah sama. Penerapan demokrasi diberbagai negara disesuaikan dengan
kultur politik yang sudah ada. Sehingga melahirkan kombinasi sistem politik
demokrasi yang variatif.
Demokrasi di Indonesia yang mayoritas Muslim memiliki sistem politik
presidensial yang mirip dengan sistem politik presidensial di AS. Salah satu
perbedaanya adalah AS Menganut trias
politika murni (pemisahan kekuasaan) dan Presiden dipilih oleh badan pemilih
(electoral college). Sedangkan di Indonesia
menganut asas trias politika modifikasi
(pembagian kekuasaan) dan Presiden dipilih oleh rakyat lewat pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam
penerapan sistem politik demokrasi diberbagai negara. Karena, penerapan
demokrasi yang disesuaikan dengan kultur politik yang sudah ada. Lahirlah
berbagai kombinasi sistem politik demokrasi yang variatif hasil perpaduan
dengan sistem politik yang sudah ada. Akan tetapi dalam banyak negara Islam,
demokrasi tidak mudah untuk diterima begitu saja. Penerapan sitem demokrasi di
Indonesia bukan tanpa halangan. Pertentangan tajam antara yang menerima dengan
yang menolak demokrasi mewarnai wacana pemikiran politik Indonesia pada akhir
dasawarsa ini.
Sekarang
saya beralih kepada realitas politik Indonesia kontemporer. Yang menjadi burning
issues dalam kaitannya dengan masalah politik identitas sejak 11 tahun
terakhir ialah munculnya gerakan-gerakan radikal atau setengah radikal yang
berbaju Islam di Indonesia. Sebagaimana partner mereka di bagian dunia lain,
gerakan-gerakan ini juga anti-demokrasi dan anti-pluralisme, dan sampai
batas-batas yang jauh juga anti-nasionalisme. Secara ideologis, mereka ini
jelas mendapat inspirasi dan pengaruh dari gerakan Islamis dan Salafi yang
semula berpusat di beberapa negara-negara Arab, kemudian dengan kecepatan
tinggi menyebar ke seluruh jagat. Untungnya di Indonesia, sebagian besar masjid
masih di bawah pengawalan Muhammadiyah dan NU, sekalipun ada beberapa yang
terinfiltrasi oleh virus ideologi serba radikal itu.[29]
Perbedaan pendapat tentang demokrasi bukan hanya masalah ideologis dan
teknis atau penerapan demokrasi dalam pemungutan suara saja. Tetapi juga
menyangkut prinsip-prinsip demokrasi tentang Hak Asasi Manusia, kesetaraan
gender, Pluralisme bahkan juga isu tentang Lesbian Gay Bisexual dan Transgender
(LGBT).
Dalam bentuk teknis sistem demokrasi yang diaplikasikan dalam proses
pemilihan umum. Kelompok Islam fundamental secara umum mereka menentang
ideologi demokrasi. Satu hal yang mungkin dilakukan oleh kelompok ini adalah
dengan tidak ikut aktif dalam pemilihan umum (PEMILU). Alasannya, bahwa
pemilihan umum bukan bagian dari mekanisme pengangkatan pemimpin yang sesuai
dengan ajaran IslamIslam, pemilihan umum tidak pernah dikenal dalam sejarah
politik Islam dimasa Nabi saw dan masa Khulafaurrasyidin mereka menganggap
bahwa cara pengangkatan pemimpin dalam IslamIslam adalah dengan musyawarah
untuk mufakat atau Syuro. Pemilu adalah cara memilih pemimpin dalam negara
demokrasi, dan mereka menganggap bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang akan
melahirkan sebuah pemerintahan thoghut. Thoghut adalah segala
sesuatu yang disembah selain Allah swt. Dalam pemahaman kelompok ini demokrasi
adalah sebuah ideologi kufur yang harus ditentang. Sebagaimana yang tertulis
dalam buku yang berjudul Menghancurkan Demokrasi yang dikarang oleh
Syaikh Ali Belhaj:
Dari sekian banyak
alasan yang mendorong kita untuk menolak demokrasi adalah karena demokrasi itu
tegak di atas suara mayoritas tanpa melihat lagi jenis suara mayoritas yang
ada. Tolok ukur kebenaran dalam demokrasi ditentukan oleh pendapat mayoritas.
Berangkat dari prinsip ini. Para pemimpin partai yang berhaluan demokrasi
selalu berupaya mencari keridhaan mayoritas rakyat dengan segala cara, walaupun
harus mengorbankan akidah, harga diri, agama dan kehormatan. Mereka melakukan
semua ini untuk dapat meraih suara mayoritas rakyat dalam kompetisi-kompetisi
pemilu yang beraneka ragam.[30]
Namun, ada juga kelompok Islam fundamental yang menerima demokrasi dengan
tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani, yang menerima demokrasi dalam penerapan
nilai hak-hak individu yang sebenarnya nilai-nilai tersebut sudah ada dalam
Islam sendiri. sedangkan dalam teknis pengangkatan pemimpin haruslah diperoleh
melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Kemudian tokoh Islam Fundamental
lainnya adalah al-Maududi, yang mengaplikasikan ide negara Islam Demokrat dalam
berdirinya Negara Pakistan. Hal ini bisa kita lihat pada tulisannya Munawir
Sadjali dalam pembahasannya tentang perjuangan Maududi dalam mendirikan negara
Islam Pakistan;
Undang-undang dasar 1956
telah menampung sebagian dari aspirasi Maududi dan Jamiat antara lain dapat
dilihat bahwa nama resmi Pakistan adalah Republik Islam Pakistan. Kemudian
dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar itu dinyatakan bahwa Pakistan adalah suatu
negara Demokrasi yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pasal 32 menegaskan
bahwa kepala Negara harus seorang Islam. Pasal 97 menjanjikan suatu pembentukan
suatu pusat penelitian Islam dengan tugas membantu rekontruksi masyarakat Islam
(yang ada) berdasarkan konsepsi Islam yang benar. Yang terakhir adanya satu
jaminan dalam pasal 198 bahwa tidak akan diundangkan rancangan undang-undang
yang bertentangan dengan al-Quran dan Hadits Nabi.[31]
Dalam perkembangannya kelompok fundamental yang pernah melakukan pemilihan
umum adalah partai FIS dalam pemilu di Aljazair 1989. Yang akhirnya dimenangkan
oleh kelompok Islam fundamental FIS, namun kelompok Islam liberal sekuler tidak
bisa menerima kekalahan dari kelompok Islam fundamental FIS. Kelompok Liberal
sekuler melakukan kudeta militer yang dibantu oleh barat. Kelompok liberal yang
mestinya menjunjung demokrasi dalam kasus pemilu Aljazair justru melawan nilai
demokrasi itu sendiri. “FIS dicap Barat sebagai partai fundamentalis Muslim
dan karenanya ia berbahaya bagi kepentingan barat. Barat diwakili Prancis
berada di belakang penjegalan kemenangan partai Islam FIS”.[32]
Perancis dan Barat pun menyambut para pelaku kudeta yang telah menjalankan
rencana dan mendukung mereka. Kemudian militer membatalkan hasil (pemilu) dari
proses demokrasi. Kedustaan kelompok liberal ini direkam oleh Syeikh Abu Mus’ab
as-Suri dalam bukunya yang berjudul Mukhtasar Syahadati’ala al-Jihad fi
al-Jazair, Thali’ah ar-Radd ‘ala Kitab al-Jami’yang menuliskan bahwa;
Lonceng tanda bahaya
telah ditabuh di seluruh dunia. Negara-negara besar Salib menyatakan
kesiapannya melakukan intervensi untuk mencegah para Islamis memegang tampuk
kekuasaan. Bahkan Francois Mitterrand, presiden Prancis saat itu, menyatakan
bahwa prancis siap melakukan intervensi militer untuk mencegah para Islamis
berkuasa. Satu-satunya solusi di depan mereka adalah melakukan kudeta militer
yang didukung oleh barat, terutama Perancis, untuk mencegah para Islamis
memegang tampuk kekuasaan di Aljazair.[33]
Hingga akhirnya kedustaan kelompok Liberal ini berlanjut dengan kekacauan
negara Aljazair dan terbunuhnya ribuan orang di negara Afrika Utara ini.
Penghianatan kelompok Liberal ini melahirkan ketidakpercayaan lagi Kelompok
Islam Fundamental terhadap demokrasi, dan membenci barat yang menyuarakan
demokrasi namun akhirnya mereka mendustakan nilai demokrasi itu sendiri. Hal
ini disampaikan oleh Syaikh Ali Belhaj sebagai tokoh penting dalam berdirinya
partai FIS di Aljazair. Dalam bukunya yang berjudul ad-Damghah al-Qawiyyah yang terbit pada tahun 1990, beliau menuliskan
;
Negara-negara yang
mengklaim demokratis ini sungguh telah menghancurkan berbagai bangsa.
Ngara-Negara itu telah merobek-robek perut dan menghisap darah berbagai bangsa.
Pembantaian-pembantaian ala demokrasi tak kurang banyaknya dibandingkan dengan
pembantaian-pembantaian ala komunisme, kalaupun tak bisa dikatakan jahat. Hanya
saja memang ada perbedaan di antara keduanya, yaitu Demokrasi membunuh dengan
racun dalam gelas yang indah atau dengan benang dari sutra.[34]
Di Turki, setelah partai
Islam Rafah (Welfare Party) memenangkan pemilu Nasional Desember 1995.
Necmetin Erbakan pemimpin Rafah, akhirnya mengundurkan diri dalam usia jabatan
tidak lebih dari 1(satu) tahun karena tekanan kuat dari militer Turki yang
mengklaim sebagai “penjaga warisan sekulerisme Turki modern” dugaan kuat barat
berada di belakang militer dan kaum Kemalis-sekuler yang menhambat kemengan
Partai Islam Rafah. Bahkan, presiden AS Bill Clinton misalnya terang-terangan
menyerukan kaum sekuler di Turki untuk bersatu dalam menghadapi kebangkitan
Islam di negeri itu. Kemenangan Rafah mengingatkan barat atas kejayaan Khilafah
Islam Utsmani. [35]
Demokrasi dalam Pemilu
Palestina tahun 2006 dan tahun 2012 yang dimenangkan militan Hammas hingga
terbentuknya persatuan antara Fattah dan Hammas. Dan ini menjadi ancaman bagi
pemerintah Israel yang didukung barat. Namun kemengan ini tidak diakui oleh
barat. Karena barat khususnya AS memasukkan Hammas dalam daftar kelompok
teroris.
Kemudian Demokrasi yang
berlangsung di Mesir setelah Revolusi Mesir tahun 2012 lalu. Yang dimenangkan
secara telak oleh kelompok Ikhwanul Muslimin, namun kelompok Islam Liberal
membuat kekacauan didukung oleh Militer Mesir melakukan penculikan terhadap
Presiden Mursi. Di sisi lain, intervensi asing khususnya Israel yang berusaha
menjatuhkan pemerintahan Mursi yang sudah berlangsung selama satu tahun.
Akhirnya berlanjut dengan tragedi berdarah yang menelan ribuan jiwa, akan
tetapi dunia barat yang menyuarakan Demokrasi pun diam.
Kelompok Islam
fundamental di Indonesia, yang menerima demokrasi seperti MASYUMI, PKS dan PBB
kurang mendapat suara yang signifikan, sehingga sering berada dalam posisi yang
tidak nyaman karena tidak memiliki bargaining politik , hal ini karena
negara menerapkan kebijakan ganda terhadap IslamIslam politik. Yakni,
mengizinkan dimensi ritual IslamIslam tumbuh berkembang, sementara negara sama
sekali tidak memberi ruang atau kesempatan bagi berkembangnya IslamIslam
Politik. Kebuntuan hubungan politik antara Islam fundamental dengan pemimpin
negara ini disampaikan oleh Bakhtiar ;
Di Indonesia, dalam hal hubungan politiknya dengan
negara, sudah lama IslamIslam mengalami jalan buntu. Baik rezim Presiden
Soekarno maupun rezim Presiden Soeharto memandang partai-partai politik yang
berlandaskan IslamIslam sebagai kekuatan-kekuatan pesaing potensial yang dapat
merobohkan landasan negara yang nasionalis. Terutama karena alasan ini,
sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas keras berupaya
untuk melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai IslamIslam. Akibatnya, tidak
saja para pemimpin dan aktivis IslamIslam politik gagal menjadikan IslamIslam
sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka)
dan lagi pada akhir 1950-an (dalam perdebatan perdebatan Majelis Konstituante
mengenai masa depan konstitusi Indonesia), tetapi mereka juga mendapatkan diri
mereka berkali-kali disebut “kelompok minoritas” atau “kelompok luar”. Pendek
kata, seperti telah dikemukakan para pengamat lain, IslamIslam politik telah
berhasil dikalahkan—baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat
pemilihan umum maupun secara simbolik.[36]
Selain itu, dalam pandangan kelompok Islam Liberal, para aktivis Politik
Islam atau kelompok Islam fundamental yang menerima jalan demokrasi, ditanggapi
dengan sinis. Menurut tanggapan kelompok Liberal, kelompok fundamental yang
berjuang melalui demokrasi hanya sebagai modus untuk menguntungkan elit politik
Partai Islam saja;
Dari perspektif Islam
politik, pemilu yang diselenggarakan secara bebas dan demokratis selalu
dipandang sebagai instrumen politik yang menjadi pilihan utama untuk membawa
para aktivis dan praktisi politik ke tampuk kekuasaan. Meskipun demikian,
penting untuk disadari bahwa sistem demokrasi mengandung ambiguitas terkait
dengan realisasi kepentingan kaum Muslim. Sudut pandang ini tidak berkaitan
dengan sikap para aktivis politik yang berorientasi Islam terhadap demokrasi,
tetapi lebih berhubungan dengan peluang yang disediakan demokrasi yang
menguntungkan mereka.[37]
Wacana demokrasi di negara-negara Islam sebuah wacana yang mengakibatkan
kelompok fundamentalisme Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok Islam
Fundamental yang menolak demokrasi, mereka enggan masuk dalam Partai Politik
ataupun sekedar memberikan suara di TPS, karena mereka meyakini bahwa suara
mereka hanya akan di gunakan untuk keuntungan sekelompok elit partai politik.
Dan aspirasi umat Islam yang di perjuangkan dalam parlemen sulit terwujud
karena hal itu tidak lepas dengan intrik politik dan lobi-lobi yang tidak
sehat. Sehingga, kelompok Islam fundamental yang menolak demokrasi ini
mengambil titik aman secara aqidah juga secara hukum positif. Secara aqidah
mereka tidak masuk dalam kejahiliahan demokrasi, yang menimbang nilai kebenaran
berdasarkan suara mayoritas dan mengesampingkan nilai kebenaran Islam. Mereka
menjaga diri dari hiruk pikuk perpolitikan yang selalu di gambarkan oleh media
sebagai suatu ranah yang penuh dengan kemunafikan, intrik dan kelicikan. mereka
tidak peduli atau acuh dengan politik tapi juga tidak melakukan perlawanan
fisik terhadap negara.
Demokrasi dalam pandangan umat Islam yang menolaknya, adalah sebuah sistem
jahiliah diluar Islam. Paham Demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah ideologi yang
baru, ia merupakan teori tua yang muncul kembali dari peradaban barat modern (al-hadhaarah
al-gharbiyyah al-mu’aashirah). Sedangkan
peradaban barat modern itu sendiri merupakan peradaban yang lahir dari
puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi, sebagaimana dituturkan Arnold
Toynbee dalam bukunya “Civilization on Trial”. Menurut
Toynbee, apa yang disebut ‘Dunia Barat’ dewasa ini merupakan sempalan dari
Imperium Romawi. Oleh karena itu pandangan hidup barat dapat dilihat sebagai
kelanjutan pandangan hidup orang-orang Yunani kuno; cita-cita kebebasan,
optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta
pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan mereka juga memantulkan
secara transparan tradisi keagamaan Yunani kuno yang memandang agama sepenuhnya
bersifat duniawiyah, praktis dan mengabdi pada kepentingan manusia (bukan Tuhan).[38]
Dengan beberapa dalil dalam manhaj Salafus Sholih, penolakannya terhadap
sistem politik demokrasi melahirkan suatu karakteristik apatisme politik yang
dekat dengan pemikiran fundamentalisme, tetapi tidak sampai pada tindakan
radikalisme. Hal ini bisa terjadi karena Islam hanyaIslam)sajaIslam. Akan
tetapi, t t karena t yang melawan negara.
[1] Quraish Shihab, Logika Agama :
kedudukan wahyu dan batas-batas akal dalam Islam (Jakarta, Lentera Hati,
2005), h. 64.
[2] ISLAMIA, volume. VI, No.1,2012, h. 38
[3] Ibid, h. 52.
[4] Ibid, h. 69
[5] Ibid, h. 87
[6] Jeff
Haynes, Demokrasi Dan Masyarakat Sipil Di Dunia Ketiga, Penerjemah P.
Sumitro, (Yayasan Obor, Indonesia, 2000),
h. 246.
[7] Husaini
Adian. Op.Cit,
h.
37.
[8] Mohammad Natsir, Islam Sebagai
Dasar Negara, (Bandung, Sega Arsy, cetakan pertama, 2014), h. 27.
[9] Husaini
Adian. Op.Cit, h.
101.
[10] Ahmad Syafii Maarif, Politik
Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Jakarta, Democracy Project,
edisi digital, 2012), h. 78.
[11] Soerjono Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, cetakan ke-23, 1996), h.
302.
[12] Adian Husaini, Mewujudkan
Indonesia Adil dan Beradab, (Surabaya, Bina Qalam, cetakan 1, th. 2015), h.
63
[13] Ibid, h. 66. (dalam catatan kaki)
[14] Ibid, h. 67. (dalam catatan kaki)
[15] http://www.suara-Islam.com/read/index/15460 di down load pada 24 Juli 2016, 14:24.
[16] Husaini
Adian. Pancasila
Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta, Gema Insani,
2009),
h.
140.
[17] Firdaus
Syam, Op.Cit, h. 371
[18] Firdaus
Syam, Op.Cit, h. 373
[19]http://www.unpad.ac.id/2016/03/waspada-proxy-war-menyerang-berbagai-aspek-kehidupan-di-indonesia/ di unduh pada tanggal 9 Agustus 2016, 06:21 wib.
[20] Farag Fouda, Kebenaran Yang Hilang, Sisi
Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, Judul Asli: Al-Haqiqah al-Ghaibah Penerbit: Dar wa Matabi’
al-Mustaqbal, Aleksandria, Mesir Cetakan II, 2003 Penerjemah: Novriantoni
(Edisi Digital Democracy Project), h. 30.
[21] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam
Anda Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta, Demokrasi
Projeck, Edisi Digital, 2011) h. xvii
[22]Ibid, h. xviii
[23] Budhy
Munawar Rachman,
Membela Kebebasan Beragama; Percakapan tentang Sekularisme, LIberalisme, dan Pluralisme,
(Democracy
Project , Edisi Digital,jakarta 2011) h. vi-vii.
[24] M Imdadun Rahmat, Op. Cit, h.xviii
[25] Samuel P. Hautington, Gelombang
Demokratisasi Ketiga, penerjemah Asril Marjohan (Jakarta: Pustaka Utama
grafiti, 1995), h. 155
[26] icce
uin syarif hidayatullah jakarta, pendidikan kewarganegaraan,
(jakarta, prenada media,
revisi, 2003), h. 110.
[27]
ibid,
h. 112.
[28]
ibid,
h. 111.
[29] Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan
Pluralisme Kita, (Jakarta, Democracy Project, edisi digital, 2012), h. 21.
[30]
Syaikh
Ali Belhaj, menghancurkan demokrasi, ad-damghah al-qawiyyah ,terjemahan Muhammad shiddiq al-jawi,
(bogor,:pustaka thariqul izzah, cetakan i, 2002), h. 1
[31] Munawir Sadjali, Islam dan Tata
Negara;ajaran,sejarah dan pemikiran, (Jakarta, UI Press, Edisi 5, 2003), h.
165.
[32] Asep Syamsul Romli, Op. Cit, 11.
[33] Abu Mus’ab as-Suri, Balada Jihad
Aljazair: menguak infiltrasi intelijen & paham takfiridalam gerakan jihad,
(Solo, Jazera, 2015), h.40.
[34]
syaikh ali belhaj, Op.Cit. h.
1
[35] Asep Syamsul Romli, Op. Cit, 11
[36] Bahtiar
Effendy, islamOp. Cit, h.
2-3
[37] Bahtiar
Effendy,
islamOp. Cit, h. 423
[38] https://irfanabunaveed.wordpress.com/2013/04/30/demokrasi-sistem-jahiliyyah-bedah-kitab-syaikh-Muhammad-quthb/ di download pada tanggal 23 Agustus 2016
Langganan:
Postingan (Atom)