Xhavadzo: Januari 2016

Selasa, 26 Januari 2016

PEROKOK itu PEMBUNUH

Jika merokok membunuhmu, maka perokok adalah pembunuh


FEMINISME, GENDER


Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 . Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: Mengapa Harus Kartini?

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut, tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh 



 


Datu ( Ratu ) Siti Aisyah We Tenriolle

Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.

Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penokohan Kartini Pilihan Belanda
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur Haluan Etika C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.

Harsja Bachtriar kemudian mencatat : Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut : Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini. Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.


Dewi Sartika dan Rohana Kudus


Dewi Sartika
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Rohana Kudus dari Padang
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.
Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Laksamana Malahayati

Mengapa Kartini, bukannya Rohana Kudus atau Cut Nyak Dien, dll?
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda.
Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini. Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya.
Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Snouck Hurgronje

Snouck Hurgronje

Snouck Hurgronje Saat Menyamar Menjadi Muslim dengan nama Abdul Ghaffar


Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?

Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya. (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam.

Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa.

Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya. (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda.

Salah satu strateginya, adalah melakukan pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa.

Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan. (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk menaklukkan Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan pribumi Muslim sudah berjubel.

Biasanya, berawal dari perasaan minder sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak anak didik Snouck langsung atau pun tidak yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.



Senin, 25 Januari 2016

TERRORISME | USA (AS) is the real TERRORIS

Aksi terrorisme Sarinah, menggelitik saya untuk menulis di blog ini tentang apa itu terrorisme dalam pandangan saya selama ini. Definisi terrorisme sendiri masih ambigu, kata terrorisme keluar dari mulut As setelah berakhirnya perang dingin. dan anehnya terrorisme sebagian besar hanya di sematkan kepada ummat Islam. Bermula dari Taliban dan Alqaida, justifikasi terrorisme meluas hingga ke beberapa gerakan Islam politik lainnya sebagaimana Amerika merilis daftar Terrorisme yang hampir semuanya adalah organisasi Islam. 
Apakah kita semua sudah melupakan sejarah, bagaimana perseteruan antara blog barat yang liberal dan  blok timur yang komunis, perseteruan dalam bentuk perang dingin antara AS dengan Uni Soviet pada tahun 80-90an.  Sebuah persaiangan antara dua blok yang seakan tak pernah usai pada waktu itu. Hingga sampailah masa dimana Uni Soviet melakukan infasi militer ke Afghanistan, AS mendukung Afghanistan dan memberi bantuan berupa pelatihan militer, dana dan senjata kepada para mujahidin. bahkan di dukung oleh antusiasme ummat Islam dari segala penjuru dunia, untuk bergabung dengan mujahidin Al-qaeda dan Pemerintah Taliban. mereka terpanggil seruan jihad melawan Uni Soviet sebagai negara atheis Komunis yang menginvasi kedaulatan negara islam Afghanistan.
Situasi ini benar-benar di manfaatkan AS untuk meruntuhkan kekuatan Uni Soviet. AS tidak perlu kontak langsung dalam perang melawan komunis. Setelah Uni Soviet mengalami kekalahan perang, hingga pecahnya Uni soviet menjadi beberapa negara, dan Russia sebagai satu negara Induk. kekuatan Rusia tidaklah sekuat Uni Soviet, baik dari segi militer dan ekonomi. hancurnya Uni Soviet di anggap suatu bentuk Kemenangan AS sebagai pemimpin blok barat.
Setelah kehancuran blok Komunis, AS melihat Taliban dan Al-qaida sebagai ancaman serius. Afghanistan sebagai sebuah negara tidak boleh dikuasai oleh kelompok pejuang Mujahidin,  dan harus dilenyapkan, oleh karena itu AS membuat sebuah konspirasi berupa tragedi WTC agar memiliki dukungan yang kuat dari rakyat AS dan dunia, untuk menyerang Al Qaida dan Taliban di Afganistan. AS membentuk Aliansi militer untuk menyerang Afghanistan sebagai basis terrorisme Global. Kemudian mengajak negara-negara lain untuk ikut masuk dalam barisannya dalam agenda memerangi terorisme global, fokus oprasinya adalah mantan mujahidin Al Qaida yang telah kembali pulang ke negaranya masing-masing. Mereka mendapat lebel sebagai terroris kemudian diburu dan ditangkap. mereka dianggap sebagai sebuah ancaman negara. Melihat arogansi AS ini, sebagian mantan pejuang Al qaida melakukan serangan terhadap berbagai bentuk kepentingan AS dan melakukan regenerasi perjuangan di beberapa negara asalnya. 
Terrorisme lebih sering disematan kepada pelaku tindakan teror yang beragama Islam. Kata terrosrisme di sematkan kepada mereka yang melakukan perlawanan karena di perlakukan secara tidak adil di beberapa negara. Seperti Patani, Checnya, Rohingnya, Uighur dan Palestina. Sementara gerakan-gerakan sparatis di beberapa negara tidak di sebut sebagai terorisme, seperti Maoisme di india, LTTE, OPM, Kluk-Kluk Klan, EDL, kemudian bagaimana aksi pengeboman dan penembakan yang dilakukan Anders Behring Breivik, penganut paham ultrakanan, yang menewaskan 99 warga Norwegia. Masyarakat dan militer budha burma yang mengusir bahkan melakukan pembantaian etnis terhadap muslim rohingya, dll. mengapa tidak pernah menyematkan kata terrorisme kepada mereka?. mengapa dunia diam ketika ribuan nyawa seorang muslim dibunuh di palestina oleh israel, di suriah oleh bahar as'ad yang Syi'ah, di afghanistan dan irak oleh AS dan sekutunya, sementara ketika hanya beberapa orang nyawa orang non muslim tewas maka seluruh dunia mengutuk keras, mengecam, menghujat ummat islam seolah-olah yang melakukan itu adalah semua orang islam?.
Saya tidak membenarkan tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil yang dilakukan oleh sebagian kelompok kecil ummat Islam, tapi saya tidak menyalah kan sepenuhnya tindakan mereka, karena itu sebuah efek perlawanan dari tindakan arogansi AS, begitu juga saya tidak setuju jika terorisme hanya di sematkan pada ummat Islam. negara yang melakukan kezaliman terhadap ummat Islam seperti rohingya, uighur, pattani, palestina adalah negara teroris. Negara yang menginvasi negara lain juga termassuk negara terroris, seperti halnya As menduduki Afghanistan dan irak hingga jatuh ribuan korban tak berdosa juga sebuah tindakan terroris. AS sejatinya adalah Negara Terroris terbesar. Negara-negara Islam harus mengurangi dominasi AS di negaranya. Dan mengurangi ketergantungan kepentingan dengan AS. Harus ada setidaknya satu tokoh politik dari dunia Islam yang berupaya menyatukan pandangan politiknya sebagai bentuk perlawanan kepada infiltrasi AS di negara-negara Islam.

Minggu, 24 Januari 2016

KONFLIK ARAB IRAN

Konflik Arab Saudi Iran, merupakan suatu bentuk perang dingin antara blok Sunni dan Syi’ah yang tak pernah usai. Walaupun pernah suatu masa mengalami suatu kondisi harmonis karena sama-sama terlahir dari dinamika peradaban Islam, namun sejatinya konflik Sunni-Syi’ah ini  selalu ada benturan. Apabila kita runtut konflik sunni-syi’ah ini sudah ada sejak akhir masa Khulafaur Rasyidin, sudah lebih dari seribu tahun konflik ini berlangsung, dan hari ini kita menyaksikan bagaimana konflik sunni syi’ah ini memuncak kembali diwakili dua poros kekuatan Islam Sunni dan Syi’ah yaitu Arab Saudi dan Iran. Konflik ini tak pernah usai, karena perbedaan dalam politik, pemikiran, bahkan hingga perbedaan Aqidah, ushuluddin atau pokok agama. Dimana ranah aqidah dan ushul ini pasti bersinggungan dengan konsep keimanan, yang merupakan suatu hal yang sangat fundamental dalam Islam.
Faktor lain musuh Islam, melihat perbedaan aqidah antara syiah dan sunni ini sebagai peluang untuk memperlemah kekuatan Islam, sebuah celah yang besar untuk mengadu dua kekuatan Islam ini agar terus berbenturan. Hal ini bisa kita lihat bagaimana As menunjukkan kedekatan dengan Arab Saudi tapi di sisi lain As mendukung Syiah menguasai Irak. Di suriah menciptakan ISIS untuk memecah persatuan Mujahidin. Di Mesir membiarkan Israel mendalangi kudeta atas pemerintah yang sah di mesir. Termasuk juga infiltrasi As di negara-negara lainnya. Sehingga persatuan negara Islam seperti tidak akan pernah tercapai lagi. Musuh Islam melakukan segala usaha makar dan tipu daya untuk melemahkan Islam dalam berbagai bidang, tidak hanya antara Arab Saudi dan Iran, tetapi juga di beberapa negara-negara Islam yang lain dimana sunni dan syi’ah mendiami negara Islam tersebut. Permusuhan antara Iran dan As hanyalah sandiwara yang nampak di media masa. Media masa adalah salah satu alat yang paling efektif bagi musuh Islam untuk menyebarkan isu-isu, propaganda yang menggiring opini publik untuk melemahkan Islam. Menutupi keculasan mereka, kelicikan mereka, menutupi kekejian mereka agar semakin banyak dari penduduk dunia ini memandang negatif segala hal tenang Islam. tidak terkecuali ummat Islam, agar membenci Islam itu sendiri karena mengalami kebingungan membedakan antara yang haq dan yang bathil, kemudian bersama-sama menghancurkan Islam itu sendiri. Walaupun di media masa pemimpin As dan Russia menyampaikan upaya perdamaian antara Arab Saudi dan Iran. Namun dalam pergerakan intelijen, mereka melakukan usaha yang cukup masif agar konflik tetap terpelihara.
Arab Saudi dan Iran, keduanya bersaing untuk mempengaruhi negara-negara tetangganya dan juga terdapat kecurigaan tentang pengaruh Iran terhadap kelompok minoritas Syiah di Arab Saudi, di samping masyarakat Syiah di Bahrain, Irak, Suriah dan Lebanon. Program nuklir Iran dan kemungkinan bahwa negara itu pada suatu hari akan memiliki senjata nuklir juga membuat khawatir tetangganya, terutama Arab Saudi.
Gesekan Arab-iran sudah sering terjadi mulai dari kekacauan penyelenggaraan haji, arab spring, Naskah Hollywood, konflik Yaman, konflik Syiria, kemudian yang terakhir eksekusi terhadap Nimr al nimr. Arab saudi sebagai negara yang berdaulat sudah sepantasnya memberikan hukuman yang berat kepada kelompok atau individu yang melakukan upaya makar baik tersembunyi maupun secara terang-terangan di dalam negaranya. Tindakan Arab saudi ini mendapat dukungan dari beberapa Negara Arab lainnya yang berhaluan Sunni, dengan memutus hubungan diplomatik dengan Iran. Sebagai suatu bentuk perlawanan Islam kepada Syi’ah sebagai agama sendiri.
Indonesia memiliki posisi sentral dalam mengupayakan perdamaian kedua negara begitu juga Turki, As dan Rusia. Tapi, Menurut saya konflik ini tidak akan hilang sama sekali selama dua kubu ini masih mewakili sunni dan syi’ah, minimal mendingin. Dan mestinya isu ini  menjadi peluang bagi negara Islam untuk menyatukan pandangannya melawan Syiah, agar semakin jelas siapa musuh dan siapa lawan.